Pixabay.com |
Fenomena kehidupan masyarakat dilihat dari aspek agama dan budaya yang memiliki keterkaitan satu sama lain yang terkadang banyak disalah artikan oleh sebagian orang yang belum memahami bagaimana menempatkan posisi agama dan posisi budaya dalam suatu kehidupan masyarakat. Dalam kehidupan manusia, agama dan budaya jelas tidak berdiri sendiri, keduanya memiliki hubungan yang sangat erat dalam dialektikanya selaras menciptakan dan kemudian saling menegaskan.
Agama sebagai pedoman hidup manusia yang diciptakan oleh Tuhan, dalam menjalani kehidupannya. Sedangkan kebu- dayaan adalah sebagai kebiasaan tata cara hidup manusia yang diciptakan oleh manusia itu sendiri dari hasil daya cipta, rasa dan karsanya yang diberikan oleh Tuhan. Agama dan kebudayaan saling mem- pengaruhi satu sama lain. Agama mempengaruhi kebudayaan, kelompok masyarakat, dan suku bangsa.
Kebudayaan cenderung berubah-ubah yang berimplikasi pada keaslian agama sehingga menghasilkan penafsiran berlainan. Salah satu agenda besar dalam kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara adalah menjaga persatuan dan kesatuan dan membangun kesejahteraan hidup bersama seluruh warga negara dan umat beragama. Hambatan yang cukup berat untuk mewujudkan kearah keutuhan dan kesejahteraan adalah masalah kerukunan sosial, termasuk di dalamnya hubungan antara agama dan kerukunan hidup umat
A. Tipologi Interaksi Agama Dan Budaya
Budaya atau culture merupakan warisan dari dari nenek moyang terdahlu yang masih eksis hingga saat ini. Suatu bangsa tidak akan memiliki ciri khas tersendiri tanpa adanya budaya-budaya yang di miliki. Budaya-budaya itupun berkembang sesui dengan kemajuan zaman yang semakin modern. Kebudayaan yang berkembang dalam suatu bangsa itu sendiri di namakan dengan kebudayaan lokal, karena merupakan sebuah hasil cipta, karsa dan rasa yang tumbuh dan berkembang di dalam suku bangsa yang ada di daerah tersebut.
Di dalam suatu kebudayaan pasti menganut suatu kepercayaan yang bisa disebut dengan agama. Agama ialah sistem atau prinsip kepercayaan kepada Tuhan, Dewa atau nama lainnya dengan ajaran kebhaktian dan kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan yang dianut oleh suatu suku/etnik tersebut. Agama bukan semata metafisika belaka, dalam semua bangsa bentuk-bentuk dan wahana obyek dan penyembahan diliputi dengan sebuah pancaran kesungguhan moral yang mendalam.
Sejak awal perkembangannya, agama-agama di Indonesia telah menerima akomodasi budaya. Sebagai contoh Agama Islam, dimana Islam sebagai agama faktual banyak memberikan norma-norma atau aturan tentang kehidupan dibandingkan dengan agama-agama lain. Jika dilihat dari kaitan Islam dengan budaya, paling tidak ada dua hal yang perlu diperjelas.
- Islam sebagai konsespsi sosial budaya dan Islam sebagai realitas budaya disebut dengan little tradition (tradisi kecil) atau local tradition (tradisi local) atau juga Islamicate, bidang-bidang yang “Islamik” yang dipengaruhi Islam. Tradisi kecil adalah realm of influence, kawasan- kawasan yang berada di bawah pengaruh Islam (great tradition). Mencakup unsur-unsur yang terkandung di dalam pengertian budaya yang meliputi konsep atau norma, aktivitas serta tindakan manusia, dan berupa karya-karya yang dihasilkan masyarakat. Istilah lain, proses akulturasi antara agama Islam dan budaya lokal ini kemudian melahirkan apa yang dikenal dengan local genius, yaitu kemampuan menyerap sambil mengadakan seleksi dan pengolahan aktif terhadap pengaruh kebudayaan asing, sehingga dapat dicapai suatu ciptaan baru yang unik, yang tidak terdapat di wilayah bangsa yang membawa pengaruh budayanya.
- Islam sebagai konsepsi budaya ini oleh para ahli sering disebut dengan great tradition (tradisi besar). Tradisi besar Islam adalah doktrin-doktrin original Islam yang permanen atau setidaknya merupakan interpretasi yang melekat ketat pada ajaran dasar. Dalam ruang yang lebih kecil doktrin ini tercakup dalam konsepsi keimanan dan syariah atau hukum Islam yang menjadi inspirasi pola pikir dan pola bertindak umat Islam. Tradisit ini seringkali disebut dengan center (pusat) yang dikontraskan dengan pinggiran.
Dr. Bernard merumuskan 5 tipologi hubungan Islam dengan kebudayaan.
- Islam mesti menggantikan kebudayaan manusia,
- Kebudayaan Arab Islam adalah kebudayaan tertinggi,
- Islam bermasalah dengan kebudayaan manusia,
- Islam membentuk kebudayaan baru yang beraneka,
- Islam dan kebudayaan memiliki ranah masing-masing dan saling berotonomi satu dengan yang lain.
Hubungan dialektika agama dan budaya lokal dapat dilihat paling tidak dari beberapa varian, yaitu:
1) Pribumisasi
Diartikan sebagai penyesuaian Islam dengan tradisi lokal dimana ia disebarkan. Menurut Abdurrahman Wahid, antara agama (Islam) dan budaya mempunyai independensi masing-masing, tetapi keduanya memiliki wilayah tumpang tindih. Tumpang tindih agama dan budaya akan terjadi terus menerus sebagai suatu proses yang akan memperkaya kehidupan dan membuatnya tidak gersang. Dari situlah sebenamya gagasan tentang pribumisasi Islam menjadi sangat urgen Hal demikian karena dalam pribumisasi Islam tergambar bagaimana Islam sebagai ajaran normativ yang berasal dari Tuhan diakomodasikan ke dalam kebudayaan yang berasal dari manusia tanpa kehilangan identitasnya masing-masing.
Bagi Abdurrahman Wahid, Arabisasi atau proses mengidentifikasi diri dengan budaya Timur Tengah adalah tercerabutnya kita dari akar budaya kita sendiri. Lebih dari itu, Arabisasi belum tentu cocok dengan kebutuhan. Pribumisasi bukan upaya menghindarkan timbulnya perlawanan dari kekuatan budaya-budaya setempat, akan tetapi justru agar budaya itu tidak hilang. Karena itu, inn' pribumisasi Islam adalah kebutuhan bukan untuk menghindarkan polarisasi antara agama dan budaya, sebab polarisasi demikian memang tidak terhindarkan.
Pribumisasi Islam dengan demikian menjadikan agama dan budaya tidak sal ing mengalahkan melainkan berwujud dalam pola nalar keagamaan yang tidak lagi mengambil bentuk yang outentik dari agama, serta berusaha mempertemukan jembatan yang sclama ini memisahkan antara agama dan budaya Dengan demikian tidak ada lagi pertentangan agama dan budaya.
Dalam prakteknya, konsep pribumisasi Islam ini dalam bentuknya dimaksudkan untuk memberikan peluang bagi keanekaragaman interpretasi dalam praktek kehidupan beragama di setiap wilayah yang berbeda-beda. Lebih dari itu pribumisasi Islam juga bukanlah "Jawanisasi" atau sinkretisme, sebab pribumisasi Islam hanya merupakan kebutuhan-kebutuhan lokal dalam merumuskan hukum-hukum agama, tanpa mengubah hukum itu sendiri. Bukan upaya meninggalkan norma demi budaya, tetapi agar norma-norma itu menampung kebutuhan-kebutuban dari budaya dengan mempergunakan peluang yang disediakan oleh berbagai pemahaman.
2). Negosiasi
Ketika agama (Islam), dengan segenap perangkat doktrin yang dipunyai, berdialektika dengan berbagai budaya yang ada di masyarakat, maka disana ada kebutuhan untuk saling mengubah tradisi yang dimiliki. Pada wilayah itulah sebetulnya berlangsung sebuah proses negosiasi yang kadangkala, pada batas-batas tertentu, berujung pada perabahan bentuk masing-masing tradisi.
3). Konflik
Pola ini mengandaikan adanya sikap yang saling bertahan antara agama dan budaya dalam pergumulan antara kaduanya. Hal ini akan terwujud dari pola yang relative "menyimpang" yang dilakukan satu diantara keduanya.
B. Konsep Dasar Sinkretis, Akulturasi Dan Asimilasi
1. Sinkretisme
Koentjaraningrat mengatakan sinkretisme merupakan watak orang jawa islam. Hal ini dapat terlihat dari sejarah perjalanan hidup orang jawa yang sampai sekarang bahkan dalam waktu yang akan datang orang jawa akan selalu menerima masukan pengaruh dari luar. Diterimanya unsur-unsur asing kedalam budaya jawa secara integritas tentunya akan menimbulkan suburnya sikretisme dalam budaya masyarakat jawa. Akan tetapi hal demikian bukan hanya terjadi pada orang jawa saja melainkan seluruh nusantara, ini bisa terlihat dari beragamnya kebudayaan. Geertz mengatakan tidak ada faksi sekreterian yang bertarung melawan pesaing. Alih-alih, yang ada ialah universalisme dalam versi bumi. Keunggulan spiritual menyorot cemerlang dalam bentuk-bentuk binaan sendiri yang sangat banyak dan beragam.
Sinkretisme adalah usaha memadukan teologi atau sistem kepercayaan lama tentang sekian banyak hal yang diyakini sebagai kekuatan ghaib berikut dimensi dengan Islam yang lalu membentuk panteisme. Hamka menyifatkan sinkretisme sebagai salah satu daripada ancaman terhadap Islam selain daripada sekularisme dan maksiat. Baginya sinkretisme ibarat ‘raja toleransi’ apabila berlakunya upacara berdoa secara Islam, sembahyang secara Kristian dan upacara pengorbanan secara Hindu Bali digabungkan. Perkara ini baginya turut diperkuatkan dengan pegangan Rukun Negara Indonesia yaitu Pancasila.
Dalam konteks sinkretisme agama dan budaya, bagi Malik bin Nabi sifat sebuah kehidupan bukanlah memecah-belah tetapi menggabungkan. Baginya, apabila unsur-unsur yang ada itu sesuai dan boleh diasimilasikan, ia menjadi satu sintesis. Tetapi jika unsur-unsur itu berbagai jenis dan tidak boleh dibandingkan, ia boleh menimbulkan sinkretisme, timbun-tambah dan kekalutan. Dunia Islam hari ini adalah hasil campuran saki baki yang diwarisi dari zaman selepas kekhalifahan Islam dan peninggalan kebudayaan baru daripada Barat. Hasil tersebut bukan akibat daripada orentasi pemikiran atau perhitungan saintifik, tetapi satu komposisi berbagai warisan lama dan pembaharuan yang tidak ditapis.
Unsur sinkretisme dari zaman yang berbeda dan dari kebudayaan yang berbeda tanpa sembarang penapisan telah membahayakan dunia Islam. Abu Jamin Roham mengatakan bahawa dalam interaksi agama, budaya atau tradisi yang berbeda, pengalaman ‘sinkretis’ mudah terjadi kerana menganggap sesuatu perkara dalam agama orang lain mungkin lebih baik dan praktikal ataupun karena toleransi yang tinggi. Hal ini juga boleh terjadi kerana tidak sengaja atau tidak memahami agama mereka sendiri.
2. Akulturasi
Menurut Koentjaningrat akulturasi adalah suatu proses social yang timbul bila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur dari suatu kebudyaan asing dengan sedemikian rupa, sehingga unsur-unsur kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkab hilangnya kepribadian kebudyaan itu sendiri. Menurut istilah akulturasi atau kulturisasi mempunyai berbagai arti menurut para sarjana antropologi. Namun, mereka sepakat bahwa itu merupakan proses sosial yang timbul bila suatu kelompok manusia dengan satu kebudayaan dihadapkan dengan unsur-unsur kebudayaan asing. Sehingga dapat diterima dan diolah dalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kebudayaan asli. Akulturasi akan mencakup berbagai aspek kehidupan termasuk di dalamnya adalah bahasa, ilmu pengetahuan dan teknologi serta kesenian. Ada dua unsur penting terhadap perubahan nilai yang terjadi dalam proses transformasi budaya yaitu terjadinya proses inkulturasi dan akulturasi. Kedua proses tersebut mempunyai hubungan timbal balik dan berganti-ganti, sehingga dapat menimbulkan penghalang atau bisa menjadi pendorong satu sama lain dan mengalami proses kelanjutan atau pembekuan.
Ciri terjadinya proses akulturasi yang utama adalah diterimanya kebudayaan liar yang diolah ke dalam kebudayaan sendiri tanpa menghilangkan kepribadian kebudayaan asal. Sedangkan Soerjono Soekanto, mengelompokkan unsur kebudayaan asing yang mudah diterima diantaranya adalah kebudayaan benda, sesuatu yang besar manfaatnya dan unsur kebudayaan yang mudah disesuaikan. Unsur kebudayaan yang sulit diterima adalah kepercayaan, ideologi, falsafah dan unsur yang membutuhkan proses sosialisasi. Terjadinya akulturasi bisa secara paksaan ataupun sukarela. Secara paksaan bisa dilihat contohnya pada negara-negara yang menjadi jajahan kolonialisme bangsa Eropa terhadap bangsa Timur. Bangsa Eropa memaksakan hal-hal baru pada wilayah jajahannya untuk memeluk agama mereka (kristenisasi), menggunakan bahasa dan hukum peradilannya, memaksakan berpakaian dengan cara modern, mencontoh gaya hidup hedonis, padahal jajahannnya adalah bangsa primitif dan terbelakang.
Bila ditinjau dari sejarah kebudayaan Indonesia, dapat dikatakan akulturasi kebudayaan Hindu dan kebudayaan Islam bersifat sukarela, tanpa paksaan. Lain halnya dengan kebudayaan Barat yang cenderung memaksakan kebudayaannya agar diterima oleh wilayah jajahannya. Untuk dapat berhasil dengan baik, proses akulturasi perlu memenuhi beberapa persyaratan, diantaranya:
- Syarat persenyawaan (affinity), yaitu penerimaan kebudayaan tanpa rasa terkejut. Ibaratnya persenyawaan ini sebagai penyerap sebagai bagian organik atau sebagai sebagai penjiwaan kebudayaan
- Adanya keseragaman (homogenity), seperti nilai baru yang tercerna akibat keserupaan tingkat dan corak budayanya sebagai suatu manfaat yang tidak penting atau hanya sekedar tampilan, sehingga proses akulturasi dapat berlangsung dengan cepat. Dengan demikian, suatu nilai yang tepat fungsi dan bermanfaat bagi kebudayaan sehingga akan memiliki daya tahan lama
3. Asimilasi
Frederich E. Lumley dalam Dictionary of Sociology menyatakan bahwa asimilasi adalah “the Proces by which different cultures, or individuals or groups representing different cultures, are merged into a homogenous units.” Ini berarti bahwa asimilasi merupakan two way traffic. Oleh karenanya, dalam suatu asimilasi akan dihasilkan suatu kebudayaan baru (melting-pot).
Asimilasi menurut Koentjaningrat adalah suatu proses sosial yang terjadi pada berbagai golongan manusia dengan latar belakang kebudayaan yang berbeda setelah mereka bergaul secara intensif. sehingga sifat khas dari unsur-unsur kebudayaan golongan-golongan itu masing-masing berubah menjadi unsur-unsur kebudayaan campuran.
Asimilasi mengharuskan para imigran untuk menyesuaikan dirinya pada kelompok kebudayaan yang didatangi (host society). Ini berarti bahwa kebudayaan golongan mayoritaslah yang dijadikan ukuran untuk menilai keberhasilan orang-perorangan atau suatu kelompok dalam menyesuaikan dirinya. Konsep ini sesuai dengan pandangan Arnold M Rose di atas, yaitu identifikasi dan loyalitas mereka terhadap kebudayaan asal semakin kecil dan akhirnya mereka loyal dan mengidentifikasikan dirinya ke dalam kebudayaan baru.
Dalam salah satu tulisan M.M Gordon menunjuk ada tujuh variabel yang harus dikaji dalam asimilasi, dintaranya yaitu:
- Asimilasi budaya atau asimilasi perilaku atau lazim disebut dengan akulturasi; terjadinya perubahan pola-pola kebudayaan ke arah penyesuaian terhadap kebudayaan kelompok mayoritas;
- Asimilasi struktural yaitu dalam skala besar mereka memasuki berbagai jenis perkumpulan, klan, dan kelembagaan kelompok mayoritas, terutama pada level dasar atau paling bawah;
- Asimilasi perkawinan atau amalgamasi (amalgamation) yaitu terjadinya perkawinan campuran dalam skala besar;
- Asimilasi identifikasi, yaitu berkembangnya perasaan sebagai satu bangsa seperti halnya yang dimiliki oleh kelompok mayoritas;
- Attitude receptional assimilation yaitu suatu asimilasi yang tercermin oleh tidak timbulnya suatu sikap berprasangka;
- Behavior receptional assimilation yaitu suatu asimilasi yang dicerminkan oleh tidak munculnya suatu sikap diskriminasi;
- Asimilasi yang dikaitkan dengan status kewarganegaraan atau civic assimilation antara lain yang terwujud dalam bentuk tidak adanya konflik nilai dan konflik kekuatan.
C. Persamaan Dan Perbedaan Antara Sinkretis, Akulturasi Dan Asimilasi
Istilah asimilasi dan akulturasi dalam ilmu sosial. sering dipergunakan tumpang tindih. Sehingga sebagian para ahli berpendapat bahwa istilah asimilasi sering dipakai oleh ahli sosiologi, sedangkan istilah akulturasi sering digunakan oleh ahli antropologi dan lebih merupakan istilah spesifik yang lazim dipakai ahli antropologi di Amerika. Di Jerman, lapangan studi akulturasi lebih dikenal dengan kajian tentang perubahan kebudayaan, sedangkan di Inggris lebih dikenal dengan studi perihal pertemuan dua kebudayaan atau lebih.
Pada dasarnya, pengertian yang terkandung dalam istilah asimilasi dan akulturasi, selain mengandung pengertian yang sama juga menunjukkan ada dimensi yang berbeda. Sebagai contoh pembatasan asimilasi yang dibuat oleh Ernest W. Burgess dalam Ensiklopedia of the Social Sciences (1957) antara lain mengatakan “dalam kontak-kontak sosial tersebut yang diawali dengan terjadinya interaksi yang bersifat pribadi dan mendalam, terutama akan berguna untuk meletakkan dasar-dasar dari suatu hubungan lebih lanjut”.
Sedangkan akulturasi menjadi sebuah lapangan studi antropologi di Ameria Serikat dibicarakan pertama kali pada pertemuan tahunan dari American Anthropological Association tahun 1930. Mengatakan bahwa akulturasi adalah memahami fenomena yang terjadi ketika sekelompok individu mengalami budaya yang berbeda datang pada kontak tangan pertama yang berkelanjutan, dengan perubahan pola budaya asli dari salah satu atau dua kelompok.
Jika diamati kedua pembatasan tersebut berisikan pengertian mengenai terjadinya pertemuan orang-orang atau perilaku budaya. Sebagai akibatnya kebudayaan mereka saling berubah bentuk. Hal yang tampak membedakannya yaitu tidak ditemukannya ciri-ciri struktural dalam pembatasan akultutasi. Dalam pembatasan asimilasi, hubungan yang bersifat sosio-struktural tercermin dari kata-kata “berbagi mereka pengalaman” dan “tergabung dalam kehidupan budaya yang sama”
Akulturasi budaya dalam pengertian Antropologi acculturation, atau culture contact, yang menyangkut proses pencampuran dua budaya atau lebih yang terjadi di dalam masyarakat dan saling mempengaruhi, salah satu dari kebudayaan tersebut akan lebih dominan dan diapdosi menjadi kebudayaan sendiri tanpa menghilangkan identitas dari kebudayaan tersebut. Unsur-unsur kebudayaan tidak pernah difungsikan secara terpisah, melainkan senantiasa dalam satu gabungan atau kompleks yang terpadu. Dari definisi tersebut, kita dapat memahami proses masuknya Islam di Nusantara melalui proses akulturasi budaya, tidak dengan asimilasi.
Karena kita dapat menemukan kebudayaan yang ada identik dengan kebudayaan Hindu-Budha. Kebudayaan islam yang ada tidak lepas dari hasil interaksi dengan kebudayaan lokal yang pada dasarnya kebudayaan setempat bersifat tradisional dan masih kuat dengan bentuk aslinya. Oleh karena itu akulturasi sebagai suatu kebudayaan yang diadopsi oleh masyarakat lokal dari budaya lain (asing), mengakibatkan unsur-unsur budaya asing dapat diambil dan dihubungkan dengan budaya yang telah mapan akan tetapi kebudayaan asing tersebut tidak merevolusi budaya asli yang mengakibatkan hilangnya identitas budaya asli. Akulturasi sama artinya dengan komunikasi antar budaya, yang mempertemukan budaya dua budaya atau lebih dan melebur menjadi satu dalam lingkup masyarakat walaupun nantinya akan menghasilkan kebudayaan baru, akan tetapi tidak menghilangkan kebudayaan yang lama.
Secara etimologi, sinkretisme berasal dari kata syin (dalam bahasa arab) dan kretiozein, yang berarti mencapuradukkan unsur-unsur yang saling bertentangan. Sinkretisme juga ditafsirkan berasal dari bahasa inggris yaitu syncretism yang diterjemahkan campuran, gabungan, paduan, dan kesatuan. Sinkretisme merupakan percampuran antara dua tradisi atau lebih, dan terjadi lantaran masyarakat mengadopsi suatu kepercayaan baru dan berusaha untuk tidak terjadi benturan dengan gagasan dan peraktik budaya lama.
Terjadinya percampuran budaya tersebut biasanya melibatkan sejumlah perubahan pada tradisi yang diikutsertakan oleh karena itu dalam masalah ini dipahami percampuran antara tradisi lokal dengan unsur-unsur budaya islam. Sebagian besar Islam yang ada di Nusantara bercorak sinkretis hal ini berarti ada perpaduan dua unsur budaya atau lebih misalnya Hindu-Budha, Animisme dan Panteisme, seperti yang dikatakan Geertz, Agama yang ada di jawa jikalau dilihat dari luar kelihatan seperti agama islam. Akan tetapi jikalau dikaji yang tampak adalah sinkretis.
Apabila satu agama tertentu, sebagai sebuah sistem kepercayaan dan nilai dan norma, diresapi oleh unsur-unsur pokok agama lain yang sudah terpadu sama sekali dengan inti agama tersebut, maka gejala itu adalah satu contoh yang sesungguhnya dari sinkretisme agama. Di pulau-pulau yang ada di Nusantara seperti Jawa, Madura, Lombok, dan lain-lain manifestasi-manifestasi setempat dari islam seringkali bersifat sinkretis dalam artian bahwa kepercayaan dan ritual-ritual lokal tetap dipertahankan sebagai kepercayaan dan ritual dalam islam sehingga menjadi unsur pokok varian islam setempat.
Sinkretisme, akulturasi, dan asimilasi pada dasarnya memiliki persamaan yakni sama-sama suatu yang bercampur, artinya paduan antara variabel 1 dan variabel 2 dalam konteks kebudayaan. Untuk perbedaan yang lebih spesifik ialah sebagai berikut :
- Sinkretisme merupakan perbaduan yang beragam dari beberapa pemahaman kepercayaan atau aliran-aliran agama dan berusaha untuk tidak terjadi benturan dengan gagasan dan peraktik budaya lama.. Misal seperti Islam abangan yang merupakan percampuran antara ajaran Islam dengan aliran kejawen.
- Akultutrasi merupakan perbaduan atau percampuran kebudayaan namun masing-masing tidak kehilangan budaya aslinya.
- Asimilasi merupakan peleburan dua budaya yang masing-masing kehilangan identitas budaya aslinya dan menimbulkan budaya baru.
contoh sinkretisme agama dan budaya
Sinkretisme Agama dan Budaya dalam Tradisi Sesajen di Desa Prenduan. Sudah menjadi kenyataan klasik, bahwa kebudayaan tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia yang menganut agamanya masing-masing. Bagi kita umat Islam, tidak semua budaya sejalan dengan ajaran agama. Salah satunya adalah tradisi sesajen yang dianggap syirik oleh sebagian tokoh Islam. Namun pada kenyataannya, tradisi ini masih dilakukan oleh masyarakat Desa Prenduan yang mayoritas beragama Islam. Hal ini menggambarkan bahwa terdapat sinkretisme antara agama dan budaya dalam tradisi sesajen tersebut.
Masyarakat di Desa Prenduan Kecamatan Pragaan Kabupaten Sumenep yang merupakan salah satu wilayah dari Pulau Madura. Dari hasil studi pendahuluan, peneliti menemukan dua ritual kecil yang sinkretis. Kedua ritual itu oleh oleh penduduk desa Prenduan disebut dengan son-sonan dan sontengan. Dalam dua ritual ini terdapat ubo rampe atau perlengkapan sesajen yang ditujukan pada objek yang gaib seperti roh para leluhur,makhluk penjaga tempat-tempat tertentu atau yang lainnya.
Jika ditinjau dari segi teori, sesajen di Desa Prenduan termasuk sinkretisasi dalam aspek bentuk ibadat, adat kebiasaan dan praktek keagamaan. Kegiatan sinkretisme ini dilakukan oleh sebagian besar masyarakat Prenduan yang semuanya adalah beragama Islam. Padahal sejarah mengatakan bahwa keistimewaan orang-orang Parindu[sic] di Madura sendiri dikenal sebagai orang Islam yang sangat saleh. Sifat keislaman penduduk itu segera nampak. Parindu[sic] mempunyai dua masjid besar, yang dua-duanya pantas untuk suatu kota kecil, lima moshalla dan sejumlah besar langgar.
Contoh akulturasi agama dan budaya
penerapan akulturasi antara agama dan budaya yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga dalam proses penyebaran Islam di tanah Jawa. Sunan Kalijaga, ketika melihat keruntuhan feodalisme kerajaan Majapahit dan digantikan oleh egelitarianisme Islam, ia mendorong percepatan proses transformasi itu, jusru dengan menggunakan unsurunsur lokal guna menopang efektifitas segi teknis dan operasionalnya. Salah satu yang digunakan adalah wayang dan gamelan yang dalam gabungannya dengan unsur-unsur upacara Islam populer adalah menghasilkan tradisi sakatenan di pusat-pusat kekuasaan Islam, seperti Cirebon, Demak, Yogyakarta, dan Surakarta.
Contoh asimilasi agama dan budaya
Seni kaligrafi merupakan budaya Islam berupa seni aksara indah dengan huruf bahasa Arab. Kesenian ini kemudian dipadukan dengan budaya Jawa sehingga menghasilkan kaligrafi Jawa yang unik. Bentuk kaligrafi ini kemudian diimplementasikan di daerah lainnya di Indonesia.
KESIMPULAN
Akulturasi merupakan proses sosial yang timbul bila suatu kelompok manusia dengan satu kebudayaan dihadapkan dengan unsur-unsur kebudayaan asing. Sehingga dapat diterima dan diolah dalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kebudayaan asli. Sedangkan asimilasi merupakan identifikasi dan loyalitas mereka terhadap kebudayaan asal semakin kecil dan akhirnya mereka loyal dan mengidentifikasikan dirinya ke dalam kebudayaan baru.
Pada dasarnya sinkretisme tidak dibenarkan dalam Islam sama ada dalam konteks agama, falsafah maupun budaya. Walau bagaimanapun dalam konteks Nusantara, pendekatan toleransi ulama terdahulu dalam berdakwah menyebabkan berlakunya sinkretisme kerana kelemahan masyarakat itu sendiri dalam menanggapi ajaran Islam. Hal ini sebenarnya harus dilihat dari sudut yang positif di mana usaha tersebut telah mempercepatkan proses pengislaman.
Asimilasi menurut Koentjaningrat adalah suatu proses sosial yang terjadi pada berbagai golongan manusia dengan latar belakang kebudayaan yang berbeda setelah mereka bergaul secara intensif. sehingga sifat khas dari unsur-unsur kebudayaan golongan-golongan itu masing-masing berubah menjadi unsur-unsur kebudayaan campuran.
Sinkretisme, akulturasi, dan asimilasi pada dasarnya memiliki persamaan yakni sama-sama suatu yang bercampur, artinya paduan antara variabel 1 dan variabel 2 dalam konteks kebudayaan. Sedangkan perbedaannya ialah jika sikretisme dalam konteks aliran namun tak merubah aliran itu, akulturasi dalam konteks budaya dan tidak meninggalkan budaya asli, dan yang terakhir asimilasi dalam konteks kebudayaan namun dapat merubah budaya asli.
Sumber rujukan:
Pals, Daniel L. 1996. “Seven Theories Of Religion” New York: Pxford University Press. Dalam “Dekonstruksi Kebenaran: Kritik Tujuh Teori Agama”, Terj: Inyiak Ridwan Muzir Dan M. Syukri. 2010. Yogyakarta: Ircisod.
Bauto, Laode Monto. 2014. Perspektif Agama Dan Kebudayaan Dalam Kehidupan Masyarakat Indonesia (Suatu Tinjauan Sosiologi Agama). Jpis, Jurnal Pendidikan Ilmu Sosial Volume 23. No. 2.
Program Studi Agama Dan Lintas Budaya. Https://Crcs.Ugm.Ac.Id/Tipologi-Hubungan-Islam-Dengan-Kebudayaan/ Diakses Pada 10-10-2020 Pukul 22.34.
Budiyanto, Mangun., Dkk. 2008. Pergulatan Agama Dan Budaya: Pola Hubungan Islam Dan Budaya Lokal Di Masyarakat Tutup Ngisor, Lereng Merapi, Magelang Jawa Tengah. Jurnal Penelitian Agama. Vol. Xvii, No. 3.
Aiza, Ros Dan Che Zarrina. 2015. Konsep Sinkretisme Menurut Perspektif Islam. Afkar 17.
Fathoni, Abdurrahmat. 2006. Antropologi Sosial Budaya Satu Pengantar. Jakarta: Rineka Cipta.
Franklin Books Programs. 1973. Ensiklopedi Umum. Yogyakarta: Kanisius.
Soeroso, Andreas. 2008. Sosiologi I. Jakarta: Yudhistira Quadra.
Roszi, Jurna Petri. 2018. Akulturasi Nilai-Nilai Budaya Lokal Dan Keagamaan Dan Pengaruhnya Terhadap Perilaku-Perilaku Sosial. Jurnal Kajian Keislaman Dan Kemasyarakatan Vol. 3, No. 2.
Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi Jakarta: Rineka Cipta.Clifford Geertz. 1998. After The Fact: Dua Negri, Empat Dasawarsa, Satu Antropologi, Terj, Landung Simatupang,Yogyakarta: Lkis.
Aminulah. “Sinkretisme Agama Dan Budaya Dalam Tradisi Sesajen Di Desa Prenduan”, Dirosat: Journal Of Islamic Studies, Volume 2, No.1 2017.
0 comments:
Post a Comment