Pixabay.com |
Agama merupakan suatu kepercayaan atau ajaran yang dianut oleh sejumlah orang yang meyakininya, agama juga merupakan suatu kepercayaan terhadap adanya Tuhan yang mengatur dan menguasai semua kehidupan di dunia ini , dengan kata lain percaya kepada Tuhan lalu meyakini bahwa tuhan itu ada akan membuat hidup seseorang menjadi lebih baik, manusia mengimani dan mempercayai adanya tuhan maka manusia tersebut akan mengetahui tujuan dari hidupnya.
Agama erat kaitannya dengan ilmu pengetahuan, ada perbedaan antara pengetahuan dan ilmu pengetahuan yakni, Pengetahuan (knowledge) dapat diartikan sebagai hasil tahu manusia terhadap sesuatu dengan menggunakan tanggapan pancainderanya yang tidak tersusun secara sistematis sedangkan ilmu pengetahuan (sciensce) adalah pengetahuan yang tersusun secara sistematis dengan menggunakan pendekatan ilmiah seperti penalaran, hipotesis, verifikasi dan observasi untuk menghasilkan teori pengetahuan.
Agama dan ilmu pengetahuan memiliki kesamaan kegunaan yaitu untuk kepentingan manusia secara emosional dan rasio. Agama sebagai sistem ilmu pengetahuan sangatlah penting, seperti yang dikatakan oleh Albert Einstein, “Ilmu tanpa agama adalah buta, dan agama tanpa ilmu adalah lumpuh”. Seperti itulah kuatnya hubungan antara agama dan ilmu pengetahuan.
Agama di dalamnya terkandung nilai-nilai serta norma-norma yang mengatur kehidupan manusia, nilai dan norma tersebut sudah menjadi bagian dari kehidupan manusia dan sudah melekat di dalam diri manusia itu sendiri dan menjadi sebuah kebudayaan yang kemudian diterapkan dalam sebuah simbol-simbol keagamaan.
Agama dan kebudayaan mempunyai relasi yang sangat kuat. Sebab keduanya nilai dan simbol. Simbol adalah tanda sakral dalam kehidupan keagamaan. Simbol terdiri dari berbagai sistem, model dan bentuk yang berhubungan dengan manusia sesuai dengan kebutuhannya. Simbol adalah ciri khas agama, karena simbol lahir dari sebuah kepercayaan, dari berbagai ritual dan etika agama.
A. Pengertian Agama
Menurut Daradjat (2005) agama adalah proses hubungan manusia yang dirasakan terhadap sesuatu yang diyakininya, bahwa sesuatu lebih tinggi dari pada manusia. Sedangkan Glock dan Stark mendefinisikan agama sebagai simbol, sistem keyakinan, sistem nilai, dan sistem perilaku yang terlembaga, yang kesemuanya terpusat pada persoalan-persoalan yang dihayati sebagai yang paling maknawi (Ultimate Mean Hipotetiking ).
Menurut Elizabeth K. Nottingham dalam buku Jalaludin, agama adalah gejala yang begitu sering “terdapat di mana-mana”, dan agama berkaitan dengan usaha-usaha manusia untuk mengukur dalamnya makna dari keberadaan diri sendiri dan keberadaan alam semesta. Selain itu agama dapat membangkitkan kebahagiaan batin yang paling sempurna dan juga perasaan takut dan ngeri. Meskipun perhatian tertuju kepada adanya suatu dunia yang tak dapat dilihat (akhirat), namun agama melibatkan dirinya dalam masalah-masalah kehidupan sehari-hari di dunia.
Pixabay.com |
Agama sebagaimana dipahami Zamakhsyari Dhofier dan Abdurrahman Wahid (1978: 27), tidak mengandung nilai-nilai dalam dirinya, tetapi mengandung ajaran-ajaran yang menanamkan nilai-nilai sosial pada penganutnya, sehingga ajaran-ajaran agama tersebut merupakan salah satu elemen yang membentuk sistem nilai budaya.
Agama merupakan suatu ajaran yang dianut oleh sejumlah orang yang meyakininya, agama juga merupakan suatu bentuk aturan atau sistem yang mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhannya atau manusia dengan manusia lain atau juga manusia dengan lingkungannya.
Dalam agama akan diatur norma-norma kehidupan, agar setiap perilaku manusia memiliki batas yang jika dilanggar akan mendapatkan sebuah hukuman yang berupa dosa. Agama dibuat agar setiap manusia memiliki tujuan hidup sehingga tidak terombang ambing oleh arus perkembangan zaman yang semakin pesat ini, agama juga dapat dijadikan sebagai motivasi dalam menjalankan aktivitas , seperti dalam berperilaku serta bersikap yang harus berlandaskan ajaran agama, nilai-nilai dan ajaran yang terkandung dalam agama menjadi landasan atau pedoman bagi seseorang dalam membentuk pola perilaku manusia yang kemudian nilai-nilai serta ajaran agama yang sudah melekat itu dikembangkan lagi oleh sejumlah penganutnya menjadi sebuah nilai-nilai budaya yang selalu dilakukan setiap harinya.
B. Agama sebagai SistemPengetahuan
1. Pengertian Ilmu pengetahuan
Ada dua kata penting yang perlu diperhatikan ketika membicarakan ilmu pengetahuan yaitu ilmu (science) dan pengetahuan (knowledge). Ilmu yaitu pengetahuan yang didapat melalui proses menalar terhadap realitas. Proses itu dilakukan melalui membaca dan memahami realitas secara berulang-ulang.
Ada tiga ciri utama yang spesifik pada setiap ilmu pengetahuan yaitu mengenai ontologi, epistemologi dan aksiologi. Ketiga ciri ini saling terkait, dalam arti jika ingin mengetahui tentang epistemologi ilmu pengetahuan, maka harus mengetahui ontologi dan aksiologinya.
Ilmu dalam pengertian sebagai sebuah pengetahuan yang diperoleh melalui proses berfikir secara logis dan sistematis adalah merupakan bagian dari pengetahuan. Sedangkan pengetahuan yang didapatkan melalui proses mengenal dan mengetahui dapat dipahami sebagai sebuah pengertian tentang realitas yang dimanifestasikan ke dalam bahasa manusia sebagai usaha untuk mengenal atau mengerti tentang sesuatu tanpa harus selalu melalui proses berfikir secara sitematis dan kompleks.
Berdasarkan pengertian tersebut di atas, sesungguhnya pengetahuan lebih luas cakupannya daripada ilmu. Atau dapat dikatakan bahwa ilmu adalah bagian dari pengetahuan. Pengetahuan didapat oleh manusia tidak selalu melalui proses berfikir misalnya intuisi, dan ada pula pengetahuan yang didapat melalui proses berfikir. Sedangkan ilmu selalu diperoleh melalui proses berfikir secara sistematis dan logis.
Ahmad Tafsir mengungkapkan bahwa epistemologi membicarakan sumber ilmu pengetahuan dan bagaimana cara memperoleh ilmu pengetahuan. Islam dalam kajian pemikirannya menggunakan beberapa aliran teori pengetahuan (epistemologi). Setidaknya ada lima model sistem berpikir dalam Islam, yakni bayani, `irfani, burhani, dan iluminasi (isyraqi), serta metode transenden (hikmah al-muta’aliyah) yang masing- masing mempunyai pandangan yang berbeda tentang pengetahuan.
Dalam epistemologi Islam, bayani adalah metode pemikiran khas Arab yang menekankan pada otoritas teks (nash), secara langsung atau tidak langsung, dan dijustifikasi oleh akal kebahasaan yang digali lewat inferensi (istidlal). Oleh karena itu, secara langsung bayani adalah memahami teks (nash) sebagai pengetahuan jadi dan langsung mengaplikasikan tanpa perlu pemikiran. Namun secara tidak langsung bayani berarti memahami teks sebagai pengetahuan mentah sehingga perlu tafsir dan penalaran. Meski demikian, hal ini tidak berarti akal atau rasio bisa bebas menentukan makna dan maksudnya, tetapi tetap harus bersandar pada teks.
Berbeda dengan metode ‘irfani, pengetahuan diperoleh lewat penyinaran hakikat oleh Tuhan kepada hamba-Nya (al-kasyf) setelah melalui riyadlah. Pengetahuan ‘irfani bersifat subjektif, namun semua orang dapat merasakan kebenarannya. Artinya, setiap orang dapat melakukan dengan tingkatan dan kadarnya sendiri-sendiri, maka validitas kebenarannyabersifat intersubjektif dan peran akal bersifat partisipatif.
Dalam filsafat, irfani lebih dikenal dengan istilah intuisi. Dengan intuisi, manusia memperoleh pengetahuan secara tiba-tiba tanpa melalui proses penalaran tertentu. Sedangkan burhani menyandarkan pada kekuatan ratio atau akal, yang dilakukan lewat dalil-dalil logika. Prinsip-prinsip logis inilah yang menjadi acuan sehingga dalil-dalil agama sekalipun hanya dapat diterima sepanjang sesuai dengan prinsip ini. Rasio inilah yang dengan dalil- dalil logika memberikan penilaian dan keputusan terhadap informasi-informasi yang masuk lewat indra yang dikenal dengan istilah tasawur dan tashdiq. ( Tasawur adalah proses pembentukan konsep berdasarkan data-data dari indera, sedangkan tashdiq adalah proses pembuktian terhadap kebenaran konsep tersebut) .
Karena metode burhani dianggap kurang efektif, Maka muncul epistemologi baru yang dibangun oleh Suhrawardi yang disebut iluminasi (`isyraqi) yang memadukan metode burhani dengan metode `irfani. Metode ini berusaha menggapai kebenaran yang tidak dicapai rasional lewat jalan intuitif, dengan cara membersihkan hati kemudian menganalisis dan melandasinya dengan argumen-argumen rasional. Meski demikian, pada masa berikutnya, metode ‘isyraqi ternyata dirasa mengandung kelemahan, sehingga muncul metode kelima, epistemologi transenden (hikmah almuta’aliyah) yang dicetuskan oleh Mulla Sadra (1571-1640 M) dengan memadukan tiga epistemologi dasar sekaligus, bayani yang tekstual, burhani yang rasional dan `irfani yang intuitif.
Dengan hikmah muta’aliyah ini, pengetahuan atau hikmah yang diperoleh tidak hanya dihasilkan dari kekuatan akal, tetapi juga lewat pencerahan ruhani, dan semua itu disajikan dalam bentuk rasional dengan menggunakan argumen-argumen rasional.
Pixabay.com |
2. Hubungan Ilmu Pengetahuan dan Agama
Ada dua sudut pandang yang penting diperhatikan untuk memahami hubungan antara ilmu pengetahuan dan agama. Sudut pandang yang pertama adalah melihat apakah ada agama yang konsepsinya menghasilkan keimanan dan sekaligus rasional atau justru semua yang rasional dan ilmiah harus dipersepsikan selalu bertentangan dengan konsepsi agama. Sudut pandang kedua adalah bagaimana ilmu pengetahuan dan agama berpengaruh pada manusia. Keterkaitan antara ilmu pengetahuan dan agama dielaborasi oleh Iian Barbour dalam empat mazhab yaitu konflik, independensi, dialog dan integrasi. Secara dikotomis keduanya dapat dijelaskan sebagaiberikut:
a). Mazhab konflik
Mazhab konflik diwakili oleh materialisme ilmiah. Materialisme memandang bahwa materi sebagai realitas dasar alam semesta. Sedangkan materialisme ilmiah meyakini bahwa metode ilmiah sebagai satu-satunya metode yang paling absah untuk menemukan kebenaran. Misalnya Galileo membuka konflik antara agama dan ilmu pengetahuan dengan mengatakan bahwa menerima penafsiran secara harfiah atas Alkitab adalah sebuah keniscayaan kecuali jika ada teori ilmu pengetahuan yang terbukti secara tak terbantahkan. Di sini Galileo ingin mengatakan bahwa doktrin Alkitab (Gereja) harus tunduk kepada penemuan ilmiah.
b). Mazhab independensi
Mazhab kedua adalah independensi. Tokoh yang mewakili aliran ini antara lain Karl barth. Ia mengatakan bahwa Tuhan adalah transenden, sepenuhnya berbeda dengan yang lain dan tidak dapat diketahui, kecuali melalui penyingkapan diri. Keyakinan keagamamaan bergantung sepenuhnya pada kehendak Tuhan, bukan pada penemuan ilmiah. Para saintis bebas bekerja ilmiah tanpa terikat dengan campur tangan teologi (agama) dan begitu pula sebaliknya. Keduanya mempunyai metode dan pokok persoalan yang berbeda. Sains dibangun atas dasar pengamatan dan penalaran manusia, sedangan teologi (agama) dibangun atas dasarwahyu.
c). Mazhab dialog
Mazhab dialog memposisikan agama dan sains pada posisi yang setara. Keduanya berdialog membantu manusia menemukan kebenaran, tetapi tidak dapat diintegrasikan antara keduanya. Holmes Rolston berpendapat bahwa keyakinan keagamaan menafsirkan dan mengaitkan pengalaman, sebagaimana teori ilmiah menafsirkan dan mengaitkan data percobaan. Kepercayaan dapat diuji dengan kriteria konsistensi dan kongreunsi terhadap pengalaman. Pada posisi ini, antara agama dan sains ditempatkan pada posisi sejajar sama tinggi dan sama rendah. Agama dapat bertegur sapa secara dialogis dengan sains, tetapi tidak berintegrasi.
d). Mazhab integrasi
Ada tiga versi dalam integrasi antara ilmu pengetahuan (sains) dan teologi (agama). Tiga versi itu adalah natural theology, theology of nature, dan sintesis sitematis.
Versi pertama mengklaim bahwa eksistensi Tuhan dapat disimpulkan dari (atau didukung oleh) bukti tentang desain alam yang kemudian desain alam tersebut dapat membuat manusia semakin menyadarinya.
Versi kedua Theology of nature mengatakan bahwa sumber utama teologi (agama) terletak di luar sains, tetapi teori-teori ilmiah bisa berdampak kuat atas perumusan ulang doktrin-doktrin tertentu, terutama ajaran tentang penciptaan dan sifat dasar manusia.
Sedangkan varian sintesis sistematis menyatakan bahwa sains maupun agama memberikan kontribusi pada pengembangan metafisika inklusif, seperti filsafat proses. Mazhab keempat yang sekarang ini berkembang. Semangat berpikir unity of sciences merupakan modal utama dalam mengembangkan pemikiran hubungan integrasi tersebut.
Berdasarkan pengertian dari ilmu pengetahuan itu sendiri, objek/sumber dan metode ilmu pengetahuan, serta elaborasi keterkaitan/hubungan antara ilmu pengetahuan dengan agama, maka dapat dipahami bahwa agama memiliki peran sebagai sistem pengetahuan.
Albert Einstein pernah berkata, “Ilmu tanpa agama adalah buta, dan agama tanpa ilmu adalah lumpuh”. Perkataan dari Albert Einstein ini sebenarnya kritikan bagi para ilmuwan yang memiliki kecenderungan mengabaikan iman, nilai-nilai kehidupan, dan makna hidup serta relasi manusia yang tidak ditemukan dalam ilmu pengetahuan, dan juga menjadi kritikan bagi orang-orang beriman yang memiliki kecenderungan menghina atau mengabaikan ilmu pengetahuan yang tidak relevan dengan keyakinan mereka.
Ilmu pengetahuan merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari ajaran agama Islam. Pengetahuan ilmiah diperoleh melalui indera, akal, dan hati/intuitif yang bersumber dari alam fisik dan alam metafisik. Ilmu terbentuk karena manusia berusaha berfikir lebih jauh mengenai pengetahuan yang dimilikinya. Ilmu pengetahuan adalah produk dari epistemologi. Pada tataran teologi normatifnya agama hanya menuntut untuk dipahami, diyakini dan dijalankan sebagai bukti ketundukan manusia kepada Tuhan. Sedangkan pada aspek historisitasnya yakni agama yang menyejarah dan living dalam kehidupan manusia sebagai sebuah sistem budaya, tentu menjadi ranah manusia untuk mengkajinya. Di sanalah agama mempunyai kedudukan atau peran sebagai sistem pengetahuan.
3. Agama sebagai Sistem Simbol
Secara etimologis, istilah “simbol” diserap dari kata symbol dalam bahasa Inggris yang berakar pada kata symbolicium dalam bahasa Latin. Sementara dalam bahasa Yunani kata symbolon dan symballo yang juga menjadi akar kata symbol, memiliki beberapa makna generik, yaitu “memberi kesan”, “berarti”, dan “menarik”. Dalam sejarah pemikiran, simbol memiliki dua pengertian yang sangat berbeda. Dalam pemikiran dan praktik keagamaan, simbol lazim dianggap sebagai pancaran realitas transenden. Sedangkan dalam sistem pemikiran logika dan ilmiah, lazimnya istilah simbol dipakai dalam arti tandaabstrak.
Simbol adalah tanda sakral dalam kehidupan keagamaan. Simbol terdiri dari berbagai sistem, model dan bentuk yang berhubungan dengan manusia sesuai dengan kebutuhannya. Simbol adalah ciri khas agama, karena simbol lahir dari sebuah kepercayaan, dari berbagai ritual dan etika agama. Simbol dimaknai sebagai sebuah tanda yang dikulturkan dalam berbagai bentuknya sesuai dengan kultur dan kepercayaan masing-masing agama. Kultur ini kemudian melahirkan sebuah sistem dan struktur simbol yang dapat membentuk manusia menjadi homo simbolicus dalam tipe atau pola religiusnya.
Macam-macam simbol agama: pixabay.com |
Simbol merupakan unsur penting karena agama adalah media hubungan dengan suprabeing yang membutuhkan usaha manusia setinggi tingginya. Seperti definisi agama yang dicetuskan oleh Max Muller yang mengatakan usaha untuk memahami apa yang tidak dapat dipahami dan untuk mengungkapkan apa yang tidak dapat diungkapkan, sebuah keinginan kepada sesuatu yang tidak terbatas.
Di balik irasionalitasnya itu, simbol dapat dilihat pada banyak ritus keagamaan, karena dengan memaknai hal-hal simbolik maka aspek aksidentalis dalam agama akan terpenuhi, sehingga tujuan keagamaan akan mudah tercapai.
Simbol-simbol religius, misalnya sebuah salib, bulan sabit atau seekor ulat berbulu, yang dipentaskan dalam ritus-ritus atau yang dikaitkan dengan mitos-mitos, bagi mereka yang tergetar oleh simbol-simbol itu, meringkas apa yang diketahui tentang dunia apa adanya. Simbol-simbol sakral lalu menghubungkan sebuah ontologi dan sebuah kosmologi dengan sebuah estetika dan sebuah moralitas. Artinya, simbol-simbol suci ini terjalin dalam simbol-simbol lainnya yang digunakan manusia dalam kehidupan nyatasehari-hari.
Menurut Clifford Geertz, agama adalah sebuah sistem simbol, yakni segala sesuatu yang memberikan ide-ide kepada penganutnya. Selain itu, agama juga merupakan sistem kebudayaan dan oleh karena itu berarti pula sebagai sistem simbol. Sebagaimana kebudayaan yang bersifat publik, simbol-simbol dalam agama juga bersifat publik dan bukan murni bersifat privasi. Agama yang dimaksud di sini adalah agama yang melekat pada diri manusia, dan bukan agama yang ada di sisi "Tuhan".
Geertz menjelaskan tentang definisi agama ke dalam lima kalimat yang masing-masing saling memiliki keterkaitan. Definisi agama menurut Geertz :
- Agama sebagai sebuah sistem budaya berawal dari sebuah kalimat tunggal yang sistem simbol yang bertujuan;
- Membangun suasana hati dan motivasi yang kuat, mudah menyebar dan tidak mudah hilang dalam diri seseorang dengan cara;
- Merumuskan tatanan konsepsi kehidupan yang umum;
- Melekatkan konsepsi tersebut pada pancaran yang faktual; Yang pada akhirnya konsepsi tersebut akan terlihat sebagai suatu realitas yang unik.
Definisi diatas cukup menjelaskan secara runtut keseluruhan keterlibatan antara agama dan budaya.
Pertama, sistem simbol adalah segala sesuatu yang membawa dan menyampaikan ide kepada seseorang. Ide dan simbol tersebut bersifat publik, dalam arti bahwa meskipun masuk dalam pikiran pribadi individu, namun dapat dipegang terlepas dari otak individu yang memikirkan simbol tersebut.
Kedua, agama dengan adanya simbol tadi bisa menyebabkan seseorang marasakan, melakukan atau termotivasi untuk tujuan-tujuan tertentu. Orang yang termotivasi tersebut akan dibimbing oleh seperangkat nilai yang penting, baik dan buruk maupun benar dan salah bagi dirinya.
Ketiga, agama bisa membentuk konsep-konsep tentang tatanan seluruh eksistensi. Dalam hal ini agama terpusat pada makna final (ultimate meaning), suatu tujuan pasti bagi dunia.
Keempat, konsepsi–konsepsi dan motivasi tersebut membentuk pancaran faktual yang oleh Geertz diringkas menjadi dua, yaitu agama sebagai “etos”dan agama sebagai “pandangan hidup”yang keduanya merupakan unsur paling hakiki bagi eksistensi manusia. Kelima, pancaran faktual tersebut akan memunculkan ritual unik yang memiliki posisi istimewa dalam tatanan tersebut, yang oleh manusia dianggap lebih penting dari apapun.
Geertz mencontohkan upacara ritual di Bali sebagai pencampuran antara etos dan pandangan hidup. Pertempuran besar antara dukun sihir Rangda dan Monster Barong aneh. Penonton terhipnotis masuk dalam tontonan tersebut dan mengambil posisi mendukung salah satu karakter, yang pada akhirnya ada beberapa yang jatuh tidak sadarkan diri. Drama tersebut bukan sekedar tontonan, melainkan kegiatan ritual yang harus diperankan.
Agama di Bali begitu sangat khas dan spesifik hingga tatanan tersebut tidak bisa diubah menjadi suatu kaidah umum bagi semua agama.
Simbol merupakan sesuatu, yang dengannya proses-proses yang berada di luar sistem-sistem simbol itu dapat diberi sebuah bentuk tertentu. Dengan mendefinisikan agama sebagai sistem simbol, berarti Geertz juga memandang bahwa dalam satu segi agama merupakan bagian dari sistem budaya.
sebagai sesutu yang sakral sangat bervariasi, misalnya ritus inisiasi di antara orang-orang Australia, cerita-cerita filosofis di antara orang-orang Maori, kisah-kisah heroik di pentas wayang di Jawa, dan ritus-ritus keji kurban manusia di antara orang-orang Aztec. Semua pola-pola ini bagi masyarakat menjelaskan apa yang mereka ketahui tentang kehidupan.
Agama maupun tingkah laku agama seseorang merupakan simbol dari pengalaman-pengalamannya tentang sesuatu realitas. Seseorang memeluk agama tertentu dikarenakan ada sebab-sebab lingkungan yang mempengaruhinya. Berbagai sistem pengetahuan yang ada dalam pikirannya tentang agama inilah selanjutnya melahirkan berbagai macam tingkah laku agama yang akan selalu berbeda antar seorang dengan yang lain. Oleh karena itu menurut Geertz, setiap studi agama menuntut dua tahapan operasi.
Pertama, orang harus menganalisis serangkaian makna yang terdapat dalam simbol-simbol agama lahir sendiri.
Kedua, yang lebih sulit, karena simbol sangat berhubungan dengan struktur masyarakat dan psikologi individu para anggotanya.
hubungan-hubungan itu harus ditemukan di sepanjang sirkuit sinyal yang terus-menerus diberi, diterima, dan dikembalikan. Simbol merupakan unit terkecil dari suatu ritual, yang mengandung sifat-sifat khusus dari tingkah laku ritual itu, serta merupakan unit terpokok dari struktur spesifik dalam ritual.
Pembentukan simbol dalam agama ini adalah kunci yang membuka pintu pertemuan antara kebudayaan dan agama, karena jika kebudayaan diartikan sebagai sistem simbol maka ia akan mempunyai makna yang sangat luas. Semua objek apapun tentang hasil kebudayaan yang memiliki makna dapat disebut simbol.
Bagi umat Islam, gambar bulan bintang dan gambar Ka’abah merupakan simbol persaudaraan seluruh umat Islam di seluruh dunia. Pada simbol-simbol tersebut seakan- akan kepercayaan dan perasaan setiap orang Islam dari semua warna kulit, suku, dan bangsa dituangkan serta dipersatukan. Khusus di Indonesia misalnya, gambar Ka’bah dijadikan lambang persatuan semua aliran politik yang diilhami kepercayaan Islam. Selain itu, Ka’bah sebagai benda sakral juga menjadi simbol umat Islam. Umat Islam diperintahkan untuk shalat menghadap Kiblat, dimana Ka’bah menjadi kiblat umat Islam. Perintah agar umat Islam menghadap ke Ka’bah tercantum dalam al-Qur’an surat al- Baqarah ayat 144.
Contoh lain dalam kebudayaan lokal adalah kenduri dan selamatan sebagai salah satu solusi dari kebiasaan upacara sejenis yang menu hidangan utamanya daging, ikan, nasi tumpeng dan air teh. Berbagai macam slametan, dengan berbagai macam pula simbolnya, misalnya nasi tumpeng, sego golong, buceng, apem, bubur abang, jenang procot dan seterusnya. Sedangkan Kenduri ini dalam tradisi masyarakat Jawa yang diniatkan sebagai sedekah dalam bentuk makan-makan setelah berdo’a dan bersyukur sebagaimana yang telah Nabi anjurkan, agar berbagi suka dalam bentuk hidangkan makanan bagi sesamanya. Dan masih banyak lagi ritual-ritual yang menjadi simbol kebudayaan lokal.
C. Kesimpulan
Menurut Daradjat (2005) agama adalah proses hubungan manusia yang dirasakan terhadap sesuatu yang diyakininya, bahwa sesuatu lebih tinggi dari pada manusia. Sedangkan Glock dan Stark mendefinisikan agama sebagai simbol, sistem keyakinan, sistem nilai, dan sistem perilaku yang terlembaga, yang kesemuanya terpusat pada persoalan-persoalan yang dihayati sebagai yang paling maknawi (Ultimate Mean Hipotetiking ). Agama memiliki peran sebagai sistem pengetahuan, Albert Einstein pernah berkata, “Ilmu tanpa agama adalah buta, dan agama tanpa ilmu adalah lumpuh”.Ilmu pengetahuan merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari ajaran agama Islam. Pengetahuan ilmiah diperoleh melalui indra, akal, dan hati/intuitif yang bersumber dari alam fisik dan alam metafisik. Ilmu terbentuk karena manusia berusaha berfikir lebih jauh mengenai pengetahuan yangdimilikinya.
Pada tataran teologi normatifnya agama hanya menuntut untuk difahami, diyakini dan dijalankan sebagai bukti ketundukan manusia kepada Tuhan. Sedangkan pada aspek historisitasnya yakni agama yang menyejarah dan living dalam kehidupan manusia sebagai sebuah sistem budaya, tentu menjadi ranah manusia untuk mengkajinya. Di sanalah agama mempunyai kedudukan atau peran sebagai sistem pengetahuan.Menurut Clifford Geertz, agama adalah sebuah sistem simbol, yakni segala sesuatu yang memberikan ide-ide kepada penganutnya. Selain itu, agama juga merupakan sistem kebudayaan dan oleh karena itu berarti pula sebagai sistem simbol. Simbol adalah tanda sakral dalam kehidupan keagamaan. Simbol terdiri dari berbagai sistem, model dan bentuk yang berhubungan dengan manusia sesuai dengan kebutuhannya. Simbol adalah ciri khas agama, karena simbol lahir dari sebuah kepercayaan, dari berbagai ritual dan etika agama, pembentukan simbol dalam agama ini adalah kunci yang membuka pintu pertemuan antara kebudayaan dan agama. Bagi umat Islam, gambar bulan bintang dan gambar Ka’abah merupakan simbol persaudaraan seluruh umat Islam di seluruh dunia. Pada simbol-simbol tersebut seakan-akan kepercayaan dan perasaan setiap orang Islam dari semua warna kulit, suku, dan bangsa dituangkan serta dipersatukan.
F. SUMBER;
Barbour,Ian G. Terj. E. R. Muhammad. 2002. Juru Bicara Tuhan: Antara Sain dan Agama, cet. Ke-2. Bandung: Mizan.
Daradjat, Zakiyah. 2005. Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: Bulan Bintang.
Durkheim, Emile. 2005. Sejarah Agama, diterjemahkan oleh Inyiak Ridwan Muzir.
Yogyakarta: IRCisoD.
Fitria, Vita. 2012. Interpretasi Budaya Clifford Geertz: Agama sebagai Sistem Budaya.
Jurnal Sosiologi Reflektif, Vol. 7 No. 1. hal. 60-61.
Geertz, Clifford. 1992. Kebudayaan dan Agama, terj. Francisco Budi Hardiman. Yogyakarta: Kanisius.
Harahap, Sumper Mulia. Islam dan Budaya Lokal Studi terhadap Pemahaman, Keyakinan, dan Praktik Keberagamaan Masyarakat Batak Angkola di Padangsidimpuan Perspektif Antropologi.Jurnal Toleransi: Media Komunikasi Umat Bergama,Vol.7 No.2. hal.157.
Hendropuspito, D. 1983. Sosiologi Agama. Yogyakarta: Kanisius.
Imam Zamroni Latief. 2014. Islam dan Ilmu Pengetahuan. Jurnal Islamuna, Vol. 1 No.2. Jalaludin. 2012. Psikologi Agama. Jakarta : RajaGrafindo Persada.
Khadziq. 2009. Islam dan Budaya Lokal. Yogyakarta: Teras. Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.
M. Husein A. Wahab. 2011. Simbol-Simbol Agama. Jurnal Substantia, Vol 12, No. 1. hal. 78.
Sholikhin, Muhammad. 2010. Ritual dan Tradisi Islam Jawa. Yogyakarta: Narasi.
Soleh, H.A. Khudori. 2013. Filsafat Islam dari Klasik hingga Kontemporer. Jogyakarta: ArRuzz Media.
Tafsir, Ahmad. 2000. Filsafat Umum Akal dan Hati Thales Hingga Capra, cet. VIII. Bandung: Remaja Rosda Karya.