Setiap titik awal pengetahuan, temukan jawaban dan tambah wawasan.

Monday, May 9, 2022

PENDIDIAKAN DAN KESETARAAN GENDER: ISU-ISU KESENJANGAN GENDER, FAKTOR PENYEBAB KETIDAK ADILAN GENDER DAN UPAYA PENANGGULANGAN DAMPAK NEGATIF DARI BIAS GENDER DALAM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

Pixabay.com


Salah satu tuntutan terhadap dunia pendidikan saat ini adalah keadilan dan kesetaraan gender, baik pada aspek akses, mutu dan relevansi maupun pada aspek manajemen pendidikan. Pengembangan model pembelajaran responsif gender pada Madrasah Ibtidaiyah merupakan salah satu upaya untuk memutus mata rantai budaya bias gender sejak dini. Merekayasa pembelajaran menjadi responsif gender dapat dilakukan melalui dua aspek yaitu materi ajar dan proses belajar mengajar. Pengembangan pada materi pelajaran dilakukan dengan menganalisis setiap pesan terdapat dalam materi pelajaran yang akan disampaikan, apakah telah memenuhi kebutuhan belajar siswa secara adil gender. Sedangkan pengembangan pada proses kegiatan belajar mengajar dilakukan sejak merancang desain model pembelajaran sampai pada proses implementasi pembelajaran di kelas dan dikemas sedemikian rupa sehingga keterterapan parameter keadilan dan kesetaraan gender dapat dilihat dari aspek akses, partisipasi, kontrol, dan penerimaan manfaat dalam setiap komponen desain pembelajaran.

Dalam proses pendidikan di Indonesia secara umum, masih terdapat bias atau ketimpangan gender. Gender adalah sebuah konsep yang dijadikan parameter dalam pengidentifikasian peran laki-laki dan perempuan yang didasarkan pada pengaruh sosial budaya masyarakat social contruction dengan tidak melihat jenis biologis secara equality dan menjadikannya sebagai alat pendiskriminasian salah satu pihak karena pertimbangan yang sifatnya biologis. Kaum laki-laki lebih dominan dalam memilih jurusan dan mempelajari kemampuan atau keterampilan pada bidang kejuruan teknologi dan industri dan seolah-olah secara khusus kaum laki-laki dipersiapkan untuk menjadi pemain utama dalam dunia produksi. Sementara itu, perempuan lebih dipersiapkan untuk melaksanakan peran pembantu, misalnya ketatausahaan dan teknologi kerumah-tanggaan. Perbaikan dalam sistem kurikulum yang menjamin terwujudnya content pendidikan yang berperspektif gender, dalam mengkombinasi-kan antara hak dan kewajiban laki-laki dan perempuan. Fakta menunjukkan bahwa ketimpangan gender dalam relasi laki-laki dan perempuan masih sering terjadi. Ketimpangan gender merupakan masalah sosial yang harus diselesaikan secara integratif holistik dengan menganalisis berbagai faktor dan indikator penyebab yang ikut aktif melestarikannya, termasuk faktor hukum dan pendidikan yang kerapkali mendapat justifikasi agama. Kesenjangan pada bidang pendidikan telah menjadi faktor utama yang sangat berpengaruh terhadap bidang lain di Indonesia, hampir semua sektor, seperti lapangan pekerjaan, jabatan, peran dimasyarakat, sampai pada masalah menyuarakan pendapat antara laki-laki dan perempuan yang menjadi faktor penyebab bias gender adalah karena faktor kesenjangan pendidikan yang belum setara selain masalah-masalah klasik yang cenderung menjustifikasi ketidakadilan seperti interpensi teks-teks keagamaan yang tekstual dan kendala sosial budaya lainnya. 

Adanya berbagai hasil penelitian yang menunjukkan terjadinya bias gender pada berbagai dimensi pendidikan sekolah, seperti pada materi pembelajaran, dan ini diyakini dapat melestarikan ideologi gender yang timpang. Pendidikan pada tingkat usia sekolah dasar (MI) merupakan waktu yang paling tepat untuk membentuk karakter manusia. (character building), sehingga lembaga pendidikan dasar (MI) dipilih menjadi sasaran kegiatan ini. Karena lembaga pendidikan dasar (MI) memiliki peran penting dalam penanaman nilai-nilai terhadap diri siswa, termasuk tentang keadilan dan kesetaraan gender. Nilai-nilai tersebut ditransfer dan ditumbuhkembangkan melalui proses pembelajaran. Proses pembelajaran yang efektif untuk mentransfer dan menumbuhkembangkan nilai-nilai keadilan dan kesetaraan gender harus didukung oleh komponen-komponen seperti; kebijakan pendidikan, kompetensi guru, kurikulum (tujuan pembelajaran. bahan ajar, metode/strategi pembelajaran, evaluasi) serta fasilitas dan media pendidikan lainnya.


A. Pengertian Pendidikan dan Gender

1. Pengertian Pendidikan

Pendidikan adalah pembelajaran pengetahuan, keterampilan, dan kebiasaan sekelompok orang yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui pengajaran, pelatihan, atau penelitian. Pendidikan sering terjadi di bawah bimbingan orang lain, tetapi juga memungkinkan secara otodidak. Etimologi kata pendidikan itu sendiri berasal dari bahasa Latin yaitu ducare, berarti menuntun, mengarahkan, atau memimpin dan awalan e, berarti keluar. Jadi, pendidikan berarti kegiatan menuntun ke luar. (insan, 2021)

Sedangkan menurut para ahli Pendidikan adalah..

  • Ki Hajar Dewantara. (Bapak Pendidikan Nasional Indonesia) : Pendidikan yaitu tuntutan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak, adapun maksudnya, pendidikan yaitu menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya.
  • Plato. Menurut Plato, pendidikan adalah sesuatu yang dapat membantu perkembangan individu dari jasmani dan akal dengan sesuatu yang dapat memungkinkan tercapainya sebuah kesempurnaan. Menurut Plato pendidikan direncanakan dan di program menjadi tiga tahap dengan tingkat usia, tahap pertama adalah pendidikan yang diberikan kepada murid hingga sampai dua puluh tahun; dan tahap kedua, dari usia dua puluh tahun sampai tiga puluh tahun; sedangkan tahap ketiga, dari tiga puluh tahun sampai usia empat puluh tahun.
  • Edgar Dalle. Pengertian pendidikan adalah usaha sadar yang dilakukan oleh keluarga, masyarakat, dan pemerintah melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan latihan, yang berlangsung di sekolah dan di luar sekolah sepanjang hayat untuk mempersiapkan peserta didik agar dapat mempermainkan peranan dalam berbagai lingkungan hidup secara tetap untuk masa yang akan datang.
  • H. Horne. Menurut Horne, pendidikan adalah proses yang terus menerus (abadi) dari penyesuaian yang lebih tinggi bagi makhluk manusia yang telah berkembang secara fisik dan mental, yang bebas dan sadar kepada tuhan, seperti ter manifestasi dalam alam sekitar intelektual, emosional dan kemanusiaan dari manusia.
  • Dan Menurut UU No. 20 tahun 2003 Pendidikan adalah usaha sadar dan ter-rencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan Negara.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pengertian pendidikan adalah pemberian pemahaman, bimbingan dari seorang dewasa kepada murid untuk mendapatkan kedewasaan dalam melaksanakan peranannya dalam kehidupan secara mandiri dan tidak bergantung pada orang lain.

2. Pengertian  Gender

Kata gender berasal dari bahasa Inggris yang berarti jenis kelamin. Dalam Ensiklopedia Feminisme gender diartikan sebagai kelompok atribut dan perilaku yang dibentuk secara kultural yang ada pada laki-laki atau perempuan. Perbedaan gender antara manusia laki-laki dan perempuan telah terjadi melalui proses panjang. 

Mufidah dalam Paradigma Gender (Ch.2003)mengungkapkan bahwa pembentukan gender ditentukan oleh sejumlah faktor yang ikut membentuk, kemudian disosialisasikan, diperkuat, bahkan dikonstruksi melalui sosial atau kultural, dilanggengkan oleh interpretasi agama dan mitos-mitos seolah-olah telah menjadi kodrat laki-laki dan perempuan. Pembedaan laki-laki dan perempuan sesungguhnya tidak menjadi masalah. Pembedaan tersebut menjadi bermasalah ketika menghasilkan ketidakadilan terhadap jenis kelamin tertentu. Ivan Illich mendefinisikan gender dengan pembeda-bedaan tempat, waktu, alat-alat, tugastugas, bentuk pembicaraan, tingkah laku dan persepsi yang dikaitkan dengan perempuan dalam budaya sosial.

Gender merupakan analisis yang digunakan dalam menempatkan posisi setara antara laki-laki dan perempuan untuk mewujudkan tatanan masyarakat sosial yang lebih egaliter. Jadi, gender bisa dikategorikan sebagai perangkat operasional dalam melakukan measure (pengukuran) terhadap persoalan laki-laki dan perempuan terutama yang terkait dengan pembagian peran dalam masyarakat yang dikonstruksi oleh masyarakat itu sendiri. Gender bukan hanya ditujukan kepada perempuan semata, tetapi juga kepada laki-laki. Hanya saja, yang dianggap mengalami posisi termarginalkan sekarang adalah pihak perempuan, maka perempuanlah yang lebih ditonjolkan dalam pembahasan untuk mengejar kesetaraan gender yang telah diraih oleh laki-laki beberapa tingkat dalam peran sosial, terutama di bidang pendidikan karena bidang inilah diharapkan dapat mendorong perubahan kerangka berpikir, bertindak, dan berperan dalam berbagai segmen kehidupan sosial.

Masalah gender dalam masyarakat patriarkal telah menempatkan perempuan sebagai objek yang selalu dikendalikan sehingga menimbulkan reaksi dari kelompok perempuan di seluruh dunia. Menurut Mosse.mereka menuntut seksualitas sebagai sebuah wilayah yang memberikan kesempatan pada perempuan untuk dapat menolak penindasan atas dirinya. Mereka menyoroti masalah pemahaman tentang seksualitas perempuan yang telah diterima, yang mengaitkan subordinasi ekonomi dan sosial perempuan dengan subordinasi seksualnya. 

Heddy Shri Ahimsa Putra menegaskan bahwa istilah gender dapat dibedakan ke dalam beberapa pengertian berikut ini. 

  1. Gender sebagai istilah asing dengan makna tertentu Sering orang berpandangan bahwa perbedaan gender disamakan dengan perbedaan seks sehingga menimbulkan pengertian yang keliru. 
  2. Gender sebagai Fenomena Sosial Budaya Perbedaan seks adalah alami dan kodrati dengan ciri-ciri fisik yang jelas, tidak dapat dipertukarkan. Penghapusan diskriminasi gender tanpa mengindahkan perbedaan seks yang ada sama halnya dengan mengingkari suatu kenyataan yang jelas. Sebagai fenomena sosial, gender bersifat relatif dan kontekstual. Gender yang dikenal orang Minang, berbeda dengan gender dalam masyarakat Bali, dan berbeda juga dengan gender.bagi masyarakat Jawa.

Hal itu diakibatkan, oleh konstruksi sosial budaya yang membedakan peran atas dasar jenis kelaminnya. 

  1. Gender sebagai Suatu Kesadaran sosial Pemahaman gender dalam wacana akademik perlu diperhatikan pemaknaannya sebagai suatu kesadaran sosial. 
  2. Gender sebagai Suatu Persoalan Sosial Budaya Fenomena pembedaan laki-laki dan perempuan sesungguhnya bukan menjadi masalah bagi mayoritas orang. Pembedaan tersebut menjadi bermasalah ketika menghasilkan ketidakadilan, di mana jenis kelamin tertentu memperoleh kedudukan yang lebih unggul dari jenis kelamin lainnya. 
  3. Gender sebagai sebuah Konsep untuk Analisis Gender sebagai sebuah konsep untuk analisis merupakan gender yang digunakan oleh seorang ilmuwan dalam mempelajari gender sebagai fenomena sosial budaya. 
  4. Gender sebagai Sebuah Perspektif untuk memandang suatu Kenyataan. Seorang peneliti menggunakan ideologi gender untuk mengungkap pembagian peran atas dasar jenis kelamin serta implikasi-implikasi sosial budayanya, termasuk ketidakadilan yang ditimbulkannya. Dalam hal ini, peneliti dituntut untuk memiliki sensitivitas gender dengan baik. 

Masalah gender juga menyentuh bidang sastra dan memunculkan sebuah bentuk kajian yang disebut kritik sastra feminis. Kritik sastra feminis seperti yang disampaikan Tinneke Hellwig (Hellwig, 2003)merupakan salah satu komponen dalam bidang kajian perempuan, yang di Barat dimulai sebagai suatu gerakan sosial pada masyarakat akar rumput karena studi perempuan dianggap sebagai suatu bagian dari agenda politik feminis. Bagi kritikus sastra feminis, semua interpretasi bersifat politis. Oleh karena itu, pada masa sekarang, pengkajian perempuan dan sastra terlebih Penjelasan lebih jauh mengenai proses kerja yang dilakukan dalam kritik sastra feminis disampaikan Jane Moore (Mosse, 2003)sebagai sebuah kerja berkesinambungan. Kritikus feminis meneliti bagaimana kaum perempuan ditampilkan dan bagaimana suatu teks membahas relasi gender dan perbedaan jenis kelamin. Dari perspektif feminis, sastra tidak boleh diisolasi dari konteks atau kebudayaan karena karya sastra menjadi salah satu bagian dari konteks atau kebudayaan tersebut. Suatu teks sastra mengajak para pembacanya untuk memahami makna menjadi perempuan atau laki-laki, kemudian mendorong mereka untuk menyetujui atau menentang norma-norma budaya yang berlaku di masyarakat. Jadi, jelaslah bahwa pekerjaan mengkritik teks sastra dengan sudut pandang feminisme membutuhkan penilaian kritikus pada aspek-aspek lain di luar teks. 

Mengenai hal itu, Murniati (Murniati, 2004) dalam Getar Gender menyebutkan bahwa kebudayaan menjadi faktor dominan ketika sebuah ideologi dioperasionalisasikan dalam kehidupan manusia. Jika agama dipakai sebagai alasan, maka kebudayaan adalah mesin penggerak, bagaimana ideologi gender meresap dan masuk ke tulang sumsum seluruh anggota masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan. Masalah diskriminasi gender hingga saat ini masih menjadi wacana yang diusung kaum feminis, termasuk feminis di Indonesia. Sejumlah penelitian terhadap masalah itu sudah banyak dilakukan. Saat ini, penulisan fiksi di Indonesia yang mengangkat masalah feminisme salah satunya dilakukan dengan cara mengkritik diskriminsi gender dan kritik sastra mengenai masalah itu banyak dijumpai. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa masalah perempuan tidak hanya menjadi bagian kepedulian para ahli ilmu sosial, tetapi para sastrawan dan kritikus sastra pun memiliki kepedulian akan hal itu.


B. Isu-Isu Kesenjangan Gender dalam Dunia Pendidikan 

Berbagai bentuk kesenjangan gender yang terjadi dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat, terpresentasi juga dalam duniapendidikan. Bahkan proses dan institusi pendidikan dipandang berperan besar dalam mensosialisasikan dan melestrikan nilai-nilai dan cara pandang yang mendasari munculnya berbagai ketimpangan gender dalam masyarakat. Secara garis besar, fenomena kesenjangan gender dalam pendidikan dapat diklasifikasi dalam beberapa dimensi, antara lain: 

  1. Kurangnya partisipasi (under-participation) Dalam hal partisipasi pendidikan, perempuan di seluruh dunia menghadapi problem yang sama. Dibanding lawanjenisnya, partisipasi perempuan dalam pendidikan formal jauh lebih rendah Di negara-negara dunia   di mana pendidikan dasar belum diwajibkan, jumlah murid perempuan umumnya hanya separuh atau sepertiga jumlah murid laki-laki (Amasari, 2005)
  2. Kurangnya keterwakilan (under-representarion) Partisipasi perempuan dalam pendidikan sebagai tenaga pengajar maupun pimpinan juga menunjukkan kecenderung disparitas progresif. Jumlah guru perempuan pada jenjang pendidikan dasar umumnya sama atau melebihi jumlah guru laki-laki. Namun, pada jenjang pendidikan lanjutan dan pendidikan tinggi, jumlah tersebut menunjukkan penurunan drastis. 
  3. Perlakuan yang tidak adil (unfair treatment) Kegiatan pembelajaran dan proses interaksi dalam kelas seringkali bersifat merugikan murid perempuan. Guru secara tidak sadar cenderung menaruh harapan dan perhatian yang lebih besar kepada murid laki-laki dibanding murid perempuan. Para guru kadang kala cenderung berpikir ke arah "self fulfilling prophecy" terhadap siswa perempuan karena menganggap perempuan tidak perlu memperoleh pendidikan yang tinggi. 

Hasil penelitian tersebut di atas memberikan gambaran bahwa bias gender dalam bidang pendidikan masih sangat timpang terutama pada tingkat pendidikan sarjana, karena dalam kenyataan empirik membuktikan bahwa semakin tinggi pendidikan seorang maka tingkat pendapat juga akan itu berpengaruh. Kondisi ini dirasakan oleh perempuan memiliki tingkat pendidikan yang masih rendahdi bandingkan dengan laki-laki. 

Kesenjangan gender juga dapat dilihat dari angka partisipasi pendidikan, berdasarkan kelompok usia maupun jenjang pendidikan. Berdasarkan angka statistik pendidikan tahun 2001,angka partisipasi murni (APM) sekolah dasar (SD) sebesar 96,64% untuk laki-laki, dan sedikit lebih kecil untuk perempuan yaitu sebesar 94,34%. Sedangkan untuk APM tingkat sekolah lanjutan tingkatpertama (SLTP) sudah mengalami kesetaraan gender, meskipun dalam angka yang masih sama-sama menunjukkan hasil rendah yaitu 56,62% laki dan 56,30% perempuan. Angka partisipasi murni(APM) untuk sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA) lebih rendah dan untuk perempuan masih lebihrendah lagi, yaitu 34,06% laki-laki dan 31,14% untuk perempuan (Idris, 2001)

Di samping hasil penelitian tersebut di atas dalam bidang pendidikan terjadi ketimpangan antara perempuan dan laki-laki, juga bias gender termasuk di bidang hukum. Bidang hukum jugasangat signifikan berpengaruh dalam pengambilan keputusan dan lagi-lagi bias gender sangat dirasakan oleh kaum perempuan. Menurut Musda ada tiga aspek ketimpangan gender dalam bidang hukum yaitu pada materi hukum (content of law), budaya hukum (culture of law), dan struktur hukumnya (structure of law). Faktor Penyebab Bias Gender dalam Pendidikan Islam Faktor-faktor penyebab bias gender dapat dikategorisasikan ke dalam tiga aspek, yaitu partisipasi, akses, dan kontrol. Namun, tidak semua aspek yang disebutkan dapat dipaksakan untukmenjelaskan masing-masing bias gender yang terjadi secara empiris dalam bidang pendidikan.Dengan kata lain faktor-faktor penyebab bias gender akan sangat tergantung dari situasinya masingmasing. 

Adapun faktor yang menjadi penyebab bias gender berkaitan dengan perolehan kesempatan belajar pada setiap jenjang pendidikan dasar adalah : Perbedaan angkatan partisipasi pendidikan pada tingkat SD/Madrasah Ibtidaiyah sudah mencapai titik optimal yang tidak mungkin diatasi hanya dengan kebijakan pendidikan, sehingga perbedaan itu menjadi semakin sulit ditekan ke titik yang lebih rendah lagi. Kesenjangan ini lebih dipengaruhi oleh faktor-faktor struktur karena fasilitas pendidikan SD sudah tersebar relatif merata. Faktor-faktor struktural itu di antaranya adalah nilai-nilai sosial budaya, dan ekonomi keluarga yang lebih menganggap pendidikan untuk anak laki-laki lebih penting dibandingkan dengan perempuan. Faktor ini berlaku terutama di daerah-daerah terpencil yang jarang penduduknya serta pada keluarga-keluarga berpendidikan rendah yang mendahulukan pendidikan untuk anak lakilaki(Gonibala, 2007))

Faktor-faktor yang mempengaruhi penyebab bias gender dalam bidang kurangnya kontrol kebijakan pendidikan adalah:

  1. Faktor kesenjangan antar gender dalam bidang pendidikan jauh lebih dominan laki-laki. Khususnya dalam lembaga birokrasi di lingkungan pendidikan sebagai pemegang kekuasaan atau kebijaksanaan, maupun dalam jabatan-jabatan akademis kependidikan sebagai pemegang kendali pemikiran yang banyak mempengaruhi kebijakan pendidikan. Keadaan ini akan semakin bertambah parah jika para pemikir atau pemegang kebijaksanaan pendidikan tersebut tidak memiliki sensitivitas gender. 
  2. Khusus pada kebijaksanaan pendidikan, khususnya menyangkut sistem seleksi dalam pendidikan. Kontrol dalam penerimaan karyawan terutama di sektor swasta sangat dirasakan bias gender. Kenyataan menunjukkan bahwa jika suami istri berada dalam salah satu perusahaan, misalnya Bank, baik milik pemerintah maupun swasta, maka salah satunya harus memilih untuk keluar, danbiasanya perempuanlah yang memilih keluar dari pekerjaan. Ini bagian dari faktor-faktor bias gender dalam bidang pendidikan.
  3. Faktor struktural, yakni yang menyangkut nilai, sikap, pandangan, dan perilaku masyarakat yang secara dominan mempengaruhi keputusan keluarga untuk memilih jurusan-jurusan yang lebih dianggap cocok untuk perempuan, seperti pekerjaan perawat, kesehatan, teknologi kerumahtanggaan, psikologi, guru sekolah dan sejenisnya. Hal ini terjadi karena perempuan dianggapnya memilih fungsi-fungsi produksi (reproductive function). Laki-laki dianggap lebih berperan sebagai fungsi penopang ekonomi keluarga (productive function) sehingga harus lebih banyakmemilih keahlian-keahlian ilmu teknologi dan industri. 
  4. Pendidikan Islam yang konstruktif merupakan salah satu pendekatan pendidikan melalui pembelajaran induktif, yang berarti mengangkat nilai-nilai faktual empirik. Pendidikan reseptif yang hanya memperkuat hapalan, apabila hapalan itu hilang maka subyek didik tidak akan punya apa-apa lagi, maka diperlukan pendidikan yang demokratis yaitu peserta didik diberikan kesempatan untuk mengeluarkan pendapat, menyampaikan opini, dan mengeskpresikankemampuan nalar, maka akan melahirkan komunitas intelektual yang cendekiawan. 
  5. Faktor lain yang turut mempengaruhi bias gender dalam pendidikan adalah muncul persaingan dengan teknologi, yang menggantikan peranan pekerja perempuan dengan mesin. Dampaknya, lagi-lagi perempuan menjadi korban teknologi khususnya perempuan yang memiliki tingkat pendidikan rendah ditambah pula dengan kemampuan ekonomi yang masih lemah.

 

C. Bentuk-Bentuk Ketidakadilan Gender 

1. Marginalisasi proses peminggiran akibat perbedaan jenis kelamin yang mengakibatkan kemiskinan 

  • Kerja domestik tidak dihargai setara dengan pekerjaan publik. 
  • Perempuan sering tidak mempunyai akses terhadap sumber daya ekonomi, waktu luang dan pengambilan keputusan . 
  • Perempuan kurang didorong atau memiliki kebebasan kultural untuk memilih karir daripada rumah tangga atau akan mendapat sanksi sosial. 
  • Perempuan sering mendapat upah yang lebih kecil dibanding lelaki untuk jenis pekerjaan yang setara 
  • Perempuan sering menjadi korban pertama jika terjadi PHK 
  • Izin usaha perempuan harus diketahui ayah (jika masih lajang & suami jika sudah menikah, permohonan kredit harus seizin suami 
  • Pembatasan kesempatan di bidang pekerjaan tertentu terhadap perempuan 
  • Ada beberapa pasal hukum dan tradisi yang memperlakukan perempuan tidak setara dengan laki-laki : harta waris, gono-gini, dst. 
  • Kemajuan teknologi sering meminggirkan peran serta perempuan. 

2. Sub-Ordinasi atau penomorduaan 

  • Masih sedikit perempuan yang berperan dalam level pengambil keputusan dalam organisasi / pekerjaan 
  • Perempuan yang tidak menikah atau tidak punya anak dianggap lebih rendah secara sosial sehingga ada alasan untuk poligami. 
  • Perempuan dibayar sebagai pekerja lajang atau bahkan dikeluarkan karena alasan menikah atau hamil, 
  • Ada aturan pajak penghasilan perempuan lebih tinggi dari laki-laki karena perempuan dianggap lajang. 
  • Beberapa pasal hukum tidak menganggap perempuan setara dengan laki-laki misalnya : pendirian izin usaha, pengelolaan harta (suami wajib mengemudikan harta pribadi isteri) Dalam materi pendidikan agama Islaam tentang hukum waris masih menjdi sebuah fenomena.

3. Stereotipe (Pelabelan Negatif) 

  • Perempuan : sumur - dapur  kasur - macak - masak  manak : sekedar ibu rumah tangga dan dianggap sebagai pengangguran, kalaupun bekerja dianggap sebagai perpanjangan peran domestik : guru TK, sekretaris, bagian penjualan, dst. 
  • Perempuan emosional, tidak rasional dan tidak mandiri sehingga tidak berhak pada fungsi perwakilan dan pemimpin. 
  • Perempuan tidak mampu mengendalikan syahwat jika diberi kekebasan : tradisi sunat perempuan, perda tentang larangan keluar malam bagi perempuan, janda dianggap sebagai berpotensi mengganggu rumah tangga orang. 
  • Pria adalah tulang punggung keluarga dan pencari nafkah tidak peduli seperti apapun kondisinya, jika gagal dicap sbg tidak bertanggungjawab. 
  • Pria adalah Kehebatannya dilekatkan pada kemampuan seksual dan karirnya, menganggap wajar jika laki-laki menggoda perempuan, selingkuh, poligami. 

4. Beban Ganda (Double Burden) 

  • Beban pekerjaan di rumah tidak berkurang dengan adanya peran publik dan peran pengelolaan komunitas (walaupun perempuan telah masuk dalam peran publik/meniti karier peran dalam rumah tangga masih besar). 
  • Pekerjaan dalam rumah tangga, sebagian besar dikerjakan ibu dan anak perempuan sedangkan ayah dan anak lelaki terbebas dari pekerjaan domestik. 
  • Perempuan sebagai perawat, pendidik anak, pendamping suami, juga pencari nafkah tambahan, 
  • Perempuan pencari nafkah utama masih harus mengerjakan tugas domestik, 
  • Lelaki meski bekerja sebagai mencari nafkah, tetap harus terlibat dalam peran sosial kemasyarakatan, karena tidak dapat diwakili oleh perempuan. 

5. Violence atau Kekerasan Terhadap Perempuan baik Fisik & Non Fisik 

  • Larangan untuk belajar atau mengembangkan karir 
  • Penggunaan istilah yang menyebut ciri fisik atau status sosial : bahenol, janda kembang, perawan tua, nenek lincah, dst, 
  • Tindakan yang diasosiasikan sebagai pernyataan hasrat seksual : kerdipan, suitan, rangkulan, green jokes, 
  • Pemaksaan atau sebaliknya pengabaian penggunaan kontrasepsi, 
  • Pencabulan, perkosaan, inses, 
  • Pembatasan atau pengabaian pemberian nafkah 
  • Penggunaan genitalitas perempuan sbg alat penaklukan baik pada masa damai ataupun perang, 
  • Perselingkuhan atau poligami tanpa izin isteri, 
  • Pemukulan atau penyiksaan fisik lain, 
  • Pengurungan di dalam rumah, 
  • Pemasungan hak-hak politik 
  • Pemaksaan perkawinan 
  • Pemaksaan pindah agama mengikuti agama pasangan, 
  • Perendahan martabat laki-laki dan perempuan semata- mata sebagai objek seks dalam iklan, 
  • Pria yang tidak macho atau maskulin atau gagal di bidang karir dianggap kurang laki-laki, dan akan dilecehkan dalam masyarakat. (Gafur, 2002)


6. Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Ketidakadilan Gender 

  • Nilai sosial dan budaya patriarkhi sama dengan pranata kehidupan yang berdasarkan pandangan laki-laki.
  • Produk dan peraturan perundang-undangan yang masih bias gender;
  • Pemahaman ajaran agama yang tidak komprehensif dan cenderung parsial;
  • Kelemahan kurang percaya diri, tekad & inkonsistensi kaum perempuan sendiri dlm memperjuangkan nasibnya;
  • Pemahaman para pemimpin dan pengambil keputusan terhadap makna Kesetaraan dan Keadilan Gender yang belum mendalam. 


7. Upaya Penanggulangan Dampak Negatif dari Bias Gender Pendidikan dalam Islam 

Adapun upaya untuk mengatasi bias gender dalam pendidikan Islam melalui upaya sebagai berikut : 

  • Reinterpretasi ayat-ayat al-Quran dan hadis yang bias gender, dilakukan secara kontinu agar ajaran agama tidak dijadikan justifikasi sebagai kambing hitam untuk memenuhi keinginan segelintir orang.
  • Muatan kurikulum nasional yang menghilangkan dikotomis antara laki-laki dan perempuan,demikian pula kurikulum lokal dengan berbasis kesetaraan, keadilan, dan keseimbangan.Kurikulum disusun sesuai dengan kebutuhan dan tipologi daerah, yang di mulai dari tingkatpendidikan taman kanak-kanak sampai ke tingkat perguruan tinggi.
  • Pemberdayaan kaum perempuan di sektor pendidikan informal seperti pemberian fasilitas belajarmulai di tingkat kelurahan sampai kepada tingkat kabupaten/kota dan disesuaikan dengankebutuhan daerah.
  • Pemberdayaan di sektor ekonomi untuk meningkatkan pendapatan keluarga terutama dalamkegiatan industri rumah tangga (home industri) dengan demikian perlahan-lahan akanmenghilangkan ketergantungan ekonomi kepada laki-laki. Karena salah satu terjadinyamarginalisasi pada perempuan adalah ketergantungan ekonomi keluarga kepada laki-laki.
  • Pendidikan politik bagi perempuan agar dilakukan secara intensif untuk menghilang melek politikbagi kaum perempuan. Karena masih ada anggapan bahwa politik itu hanya milik laki-laki, danpolitik itu adalah kekerasan, padahal sebaliknya politik adala seni untuk mencapai kekuasaan.Dengan demikian kuota 30% sesuai dengan amanah Undang-Undang segara terpenuhi, mengingatpemilih terbanyak adalah perempuan.
  • Pemberdayaan di sektor ketrampilan (skill) baik ketrampilan untuk kebutuhan rumah tangga,maupun yang memiliki nilai jual di tingkatkan terutama kaum perempuan di pedesaan agar terjadikeseimbangan antara perempuan yang tinggal di perkotaan dengan pedesaan sama-sama memilikiketrampilan yang relatif bagus.
  • Sosialisasi Undang-Undang Anti Kekerasan dalam Rumah tangga lebih intens dilakukan agarkaum perempuan mengetahui hak dan kewajiban yang harus dilakukan sesuai dengan amanah dari UUAK.


D. Kesimpulan

1. pengertian pendidikan adalah pemberian pemahaman, bimbingan dari seorang dewasa kepada murid untuk mendapatkan kedewasaan dalam melaksanakan peranannya dalam kehidupan secara mandiri dan tidak bergantung pada orang lain.

2. Gender merupakan analisis yang digunakan dalam menempatkan posisi setara antara laki-laki dan perempuan untuk mewujudkan tatanan masyarakat sosial yang lebih egaliter. Jadi, gender bisa dikategorikan sebagai perangkat operasional dalam melakukan measure (pengukuran) terhadap persoalan laki-laki dan perempuan terutama yang terkait dengan pembagian peran dalam masyarakat yang dikonstruksi oleh masyarakat itu sendiri.

3. Adapun faktor yang menjadi penyebab bias gender berkaitan dengan perolehan kesempatan belajar pada setiap jenjang pendidikan dasar adalah : Perbedaan angkatan partisipasi pendidikan pada tingkat SD/Madrasah Ibtidaiyah sudah mencapai titik optimal yang tidak mungkin diatasi hanya dengan kebijakan pendidikan, sehingga perbedaan itu menjadi semakin sulit ditekan ke titik yang lebih rendah lagi. Kesenjangan ini lebih dipengaruhi oleh faktor-faktor struktur karena fasilitas pendidikan SD sudah tersebar relatif merata. Faktor-faktor struktural itu di antaranya adalah nilai-nilai sosial budaya, dan ekonomi keluarga yang lebih menganggap pendidikan untuk anak laki-laki lebih penting dibandingkan dengan perempuan. Faktor ini berlaku terutama di daerah-daerah terpencil yang jarang penduduknya serta pada keluarga-keluarga berpendidikan rendah yang mendahulukan pendidikan untuk anak lakilaki

4. Bentuk-Bentuk Ketidakadilan Gender 

  • Marginalisasi proses peminggiran akibat perbedaan jenis kelamin yang mengakibatkan kemiskinan 
  • Kerja domestik tidak dihargai setara dengan pekerjaan publik. 
  • Perempuan sering tidak mempunyai akses terhadap sumber daya ekonomi, waktu luang dan pengambilan keputusan . 
  • Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Ketidakadilan Gender 
  • Nilai sosial dan budaya patriarkhi sama dengan pranata kehidupan yang berdasarkan pandangan laki-laki.
  • Produk dan peraturan perundang-undangan yang masih bias gender;
  • Pemahaman ajaran agama yang tidak komprehensif dan cenderung parsial;
  • Upaya Penanggulangan Dampak Negatif dari Bias Gender Pendidikan dalam Islam 
  • Reinterpretasi ayat-ayat al-Quran dan hadis yang bias gender, dilakukan secara kontinu agar ajaran agama tidak dijadikan justifikasi sebagai kambing hitam untuk memenuhi keinginan segelintir orang.
  • Muatan kurikulum nasional yang menghilangkan dikotomis antara laki-laki dan perempuan,demikian pula kurikulum lokal dengan berbasis kesetaraan, keadilan, dan keseimbangan.Kurikulum disusun sesuai dengan kebutuhan dan tipologi daerah, yang di mulai dari tingkatpendidikan taman kanak-kanak sampai ke tingkat perguruan tinggi.
  • Pemberdayaan kaum perempuan di sektor pendidikan informal seperti pemberian fasilitas belajarmulai di tingkat kelurahan sampai kepada tingkat kabupaten/kota dan disesuaikan dengankebutuhan daerah.


Sumber: 

Amasari. (2005). Penelitian Pendidikan Berujatuasan Gender. Banjarmasin: IAIN Antasari.

Ch., M. (2003). Paradigma Gender. Malang: Bayumedia Publishing.

Gafur, W. A. (2002). Gender dan Islam dalam teks dan Konteks,. Yogyakarta: PSW IAIN Sunan Kalijaga.

Gonibala, R. (2007). Fenomena Bias Gender Dalam Pendidikan Islam.

Hellwig, T. (2003). Citra Perempuan dalam Sastra Indonesia. Jakarta: Desantara.

Idris, A. S. (2001). Kesetaraan Gender dalam Bidang Pendidikan. Jakarta: Biro Pusat Statistik.

insan, B. (2021). Pengertian Pendidikan. Bina insan manndiri .

Mosse, J. C. (2003). Gender dan Pembangunan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Murniati, A. N. (2004). Getar Gender. Magelang: Indonesiatera.

Share:

0 comments:

Post a Comment

Followers

BTemplates.com

Translate