Setiap titik awal pengetahuan, temukan jawaban dan tambah wawasan.

Thursday, May 12, 2022

OTONOMI PENDIDIKAN

 

Pixabay.com

Kondisi menyedihkan akan terasa ketika kita melirik pada psoses dan kualitas pendidikan di daerah. Terutama daerahn tertinggal, di mana kualitas murid bahkan SDM yang ada jauh dari harapan. Mungkinkah tujuan pendidikan nasional dapat tercapai jika kondisi seperti ini terus berlangsung? 

Pendidikan nasional sebagaimana yang tertuang dalam Undang-Undang Republik Indonesia tahun 2003 Bab II pasal 3 tentang Sistem Pendidikan Nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. 

Tujuan ini mengharuskan adanya upaya untuk mewujudkannya dengan jalan menggali potensi-potensi diri yang dimiliki anak didik. Perlu disadari bahwa anak didik memiliki karakteristiknya sendiri-sendiri yang tidak pernah sama antara satu dengan lainnya, sehingga mengembangkan potensi anak didik berarti pula mengenali karakteristik anak secara keseluruhan.

Perubahan sistem pendidikan Indonesia terjadi pada saat masuk era reformasi, semua tatanan kehidupan politik dilakukan perubahan mendasar tanpa terkecuali. Demikian juga dengan kebijakan pendidikan nasional mengalami perubahan yang mendasar. Sistem pendidikan nasional mengalami perubahan dari centralisasi menjadi decentralisasi. Kebijakan otonami daerah juga mempengaruhi kebijakan pendidikan di daerah, Perubahan bidang pendidikan terjadi disana sini, mulai dari tujuan pendidikan, pelaksana/penanggung jawab pendidikan, kurikulum, materi pembelajaran dan seterusnya.


A. Latar Belakang Otonomi Pendidikan

Salah satu cita-cita nasional yang hanls terus diperjuangkan oleh bangsa Indonesia ialah upaya mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pendidikan nasional. Masa depan dan keunggulan bangsa ditentukan oleh keunggulan sumber daya manusia yang dimilikinya, disamping sumber daya alam dan modal. Sumber daya manusia yang tinggi diharapkan secara signifikan dapat menjadi subjek pembangunan untuk lebih berhasil mengelola sumber daya bagi kepentingan kesejahteraan masyarakat. Berbicara mengenai kualitas sumber daya manusia, pendidikan memegang peran yang sangat penting dalam proses peningkatan kualitas sumber daya manusia. Menyadari pentingnya proses peningkatan kualitas sumber daya manusia, maka pemerintah bersama kalangan swasta sama-sama telah dan terus berupaya mewujudkan amanat tersebut melalui berbagai usaha pembangullan pendidikan yang lebih berkualitas antara lain melalui perbaikan kurikulum dan sistem evaluasi, perbaikan sarana pendidikan, pengembangan dan pengadaan materi ajar, serta pelatihan bagi guru dan tenaga kependidikan (Umaedi,2001).

Tetapi pada kenyataannya upaya pemerintah tersebut belum cukup berarti dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Salah satu permasalahan pendidikan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia adalah rendahnya mutu pendidikan pada setiap jenjang dan satuan pendidikan, khususnya pendidikan dasar dan menengah. 

Adapun yang menyebabkan rendahnya mutu pcndidikan disebabkan tiga faktor dimana mulu pendidikan tidak mengalami peningkatan secara merata yaitu:

Kebijakan dan penyelenggaraan pcndidikan nasional menggunakan pendekatan educational production function atau input-output analysis yang tidak dilaksanakan secara konsekuen. Pendekatan ini melihat bahwa lembaga pendidikan berfungsi sebagai pusat produksi yang apabila dipilih semua input (masukan) yang diperlukan dalam kegiatan produksi tersebut, maka lembaga ini akan menghasilkan output yang dikehendaki. Dalam kenyataan, mutu pendidikan yang diharapkan tidak teljadi, mengapa? Karena selama ini dalam menerapkan pendekatan education production function terlalu memusatkan pada input pendidikan dan kurang memperhatikan pada proses pendidikan. Padahal, proses pendidikan sangat menentukan output pendidikan.

Penyelenggaraan pendidikan dilakukan secara sentralistik, sehingga sekolah sebagai penyelenggara pendidikan sangat tergantung pada keputusan birokrasi, yang kadang-kadang kebijakan yang dikeluarkan tidak sesuai dengan kondisi sekolah setempat. Dengan demikian sekolah kehilangan kemandirian, motivasi, dan inisiatif untuk mengembangkan dan memajukan lembaganya termasuk peningkatan mutu pendidikan sebagai salah satu tujuan pendidikan nasional.

Peran serta masyarakat, khususnya orang tua siswa dalam penyelenggaraan pendidikan

selama ini sangat minim. Partisipasi masyarakat pada umumnya selama ini lebih banyak bersifat dukungan dana, bukan pada proses pendidikan (pengambilan keputusan, monitoring, evaluasi, dan akuntabilitas). Berkaitan dengan akuntabilitas, sekolah tidak mempunyal beban untuk mempertanggungjawabkan hasil pelaksanaan pendidikan kepada masyarakat, khususnya orang tua siswa, sebagai salah satu pihak utama yang berkepentingan dengan pendidikan. Dilihat dari aspek lain masih banyaknya peserta didik gagal sekolah, lamanya penyelesaian studi mahasiswa lulusan perguruan tinggi, juga lamanya memperoleh pekerjaan, bahkan banyak yang menjadi pengangguran dan rendahnya gaji para lulusan sekolah merupakan indikator lain betapa rendahya mutu pendidikan kita ( Umaedi, 2001:1-2).

Pada tahun 1984 kita telah berhasil melaksanakan wajib belajar 6 tahun, yang telah diusulkan untuk dilaksanakan dengan jelas ketika RI baru berusia 4 bulan yaitu pada tanggal 29 Desember 1945. BPKNIP (Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat) atau badan legislatif pada waktu itu mengusulkan kepada kementrian pendidikan pengajaran dan kebudayaan agar melaksanakan wajib belajar 6 tahun secara berangsur dalam waktu 10 tahun.

Banyak yang telah dihasilkan dengan wajib belajar 6 tahun, diantaranya telah berhasil mengenalkan pada masyarakat betapa pentingnya pendidikan dasar dan mengurangi jumlah buta baca latin pada masyarakat bawah yang pada zaman kolonial tidak tersentuh. Berbagai macam inovasi pendidikan dikembangkan seperti, CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif) untuk mcningkatkan metode belajar dan mengajar yang lebih kreatif tidak sekedar mendengarkan yang akan mematikan kreatifitas siswa dan GNOTA (Gerakan Nasional Orang Tua Asuh) yang dikenalkan pada masyarakal untuk dilaksanakan dengan tujuan memberikan beasiswa yang tepat sasaran. Proyek inovasi tersebut memang belum mencapai hasil yang diinginkan tetapi setidaknya ada usaha untuk melakukan perbaikan mutu pendidikan (Rachman, 2004:155).

Seiring dengan bergulirnya era otonomi daerah dan diberlakukannya UU No 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah, pada pasal 1 ayat 2 dinyatakan bahwa; "Bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh pemerintah daerah kabupaten dan daerah kota meliputi pekerjaan umum. kesehatan, pendidikan dan kebudayaan." UU ini memberikan keleluasaan bagi pemerintah daerah untuk mampu mengembangkan potensi yang acla termasuk juga pendidikan. Asas desentralisasi yang dianut oleh UU pemerinlah daerah mencakup pengertian antara lain pengakuan kewenangan pemerintah yang luas kepada daerah otonom oleh pemerintah pusat. Konsekuensi pelaksanaan otonomi yang seluas-luasnya itu akan membawa pengaruh termasuk dalam pendidikan yang kemudian dikenal dengan otonomi pendidikan.

Otonomi pendidikan dengan asas desentralisasi akan melahirkan warga negara yang inovatif, bisa bersaing dan dapat bekerjasama membangun suatu masyarakat yang demokratis. Diberlakukannya otonomi pendidikan memberikan angin segar bagi daerah khususnya sekolah untuk dapat mengembangkan potensinya. Sekolah dapat dengan leluasa membuat rencana-rencana yang sesual dengan kondisinya. Contohnya sekolah menambah Jam belajar efektif dengan menerapkan kurikulum dan metode belajar yang tepat. Dengan rencana yang matang dan pelaksana yang profesional serta koordinasi kerja yang baik tentunya akan mendapat hasil yang maksimal karena akan membawa sekolah pada tujuan utama yaitu meningkatkan mutu dan memenuhi harapan masyarakat.

1. Pengertian

Berbicara tentang otonomi tidak dapat dilepaskan dari kebijakan pemerintah tentang otonomi daerah. Sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah Bab I pasal 1 point h, otonomi Daerah adalah kewenangan Daerah Otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Otonomi daerah dapat diartikan sebagai kemandirian suatu daerah dalam kaitan pembuatan dan pengambilan keputusan mengenai kepentingan daerahnya sendiri (Dede, 2003:150). Disinyalir yang memahami tentang suatu daerah tertentu pastilah masyarakat tempatan, hingga wilayah tertentu tidak mungkin bias diketahui secara pasti oleh pemerintah pusat, akan tetapi cukup diketahui oleh pemerintah daerah.

Otonomi daerah di Indonesia direalisasikan dengan membagi kekuasaan yang sebelumnya terpusat pada pemerintah pusat dengan mendelegasikan sebagian dari tugas dan kewenangan tersebut pada pemerintah daerah. Menurut undang-undang nomor 22 tahun 1999 yang menjadi kewenangn pemerintah pusat hanyalah aspek-aspek makro yang bersifat nasional seperti masalah hubungan luar negeri, pertahanan dan keamanan, peradilan, moneter, agama dan berbagai urusan yang memang lebih efisien bila ditangani secara sentral kebijakan makro ekonomi, standarisasi nasional, administrasi pemerintahan, badan usaha milik Negara dan pengembangan sumber daya manusia (Dede, 2003:168).

Dalam menetapkan kewenangan pusat dan daerah, terdapat 11 jenis kewenangan yang diberikan kepada daerah dalam pelaksanaannya sesuai dengan apa yang termaktub di dalam Undang-Undang Republik Indonesia nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah Bab IV pasal 11, yaitu :

  • Pertanahan
  • Pertanian
  • Pendidikan dan Kebudayaan
  • Tenaga Kerja
  • Kesehatan 
  • Lingkungan Hidup
  • Pekerjaan Umum
  • Perhubungan
  • Perdagangan dan Industri
  • Penanaman Modal dan
  • Koperasi (Dede, 2003:177).

Dari 11 kewenangan di atas dapat dilihat adanya kewenangan daerah dalam bidang pendidikan dan kebudayaan. Dalam arti kata aspek pendidikan dan kebudayaan tidak lagi menjadi kewenangan pemerintah pusat akan tetapi daerah diberi hak untuk mengatur sendiri pendidikan dan budaya yang sesuai dengan jati diri anak daerah, sehingga hasil pendidikan yang telah diraih anak negeri dapat diaplikasikan sesuai dengan potensi daerah yang dimiliki. Dalam hal ini pemerintah daerah memiliki wewenang dalam merumuskan, melaksanakan serta melakukan supervise dan mengevaluasi pendidikan yang dilaksanakan di daerah sesuai dengan kewenangan yang telah diberikan kepada daerah.

Otonomi daerah pada dasarnya sejalan dengan semangat demokrasi, sehingga otonomi daerah hendaknya dipandang sebagai otonomi bagi daerah, bukan otonomi bagi pemerintah daerah, sehingga dalam penentuan kebijakan dan dalam pelaksanaan suatu kebijakan atau program hendaknya melibatkan masyarakat.

Dengan demikian otonomi pendidikan hendaknya terlaksana seiring berjalannya otonomi daerah yang dicanangkan pemerintah. Berdasarkan pengertian otonomi daerah di atas dapat ditarik definisi otonomi pendidikan sebagai kemandirian suatu daerah dalam melaksanakan dan pengambilan keputusan mengenai kepentingan pendidikan di daerahnya sendiri. Sufyarma mengartikan desentralisasi pendidikan sebagai sistem manajemen untuk mewajibkan pembangunan pendidikan yang menekankan pada kebhinekaan (Sufyarma, 2004:83).

Pernyataan di atas berarti otonomi pendidikan lebih memperhatikan keberadaan anak didik yang tinggal dan hidup di tengah-tengah keragaman karakter, etnis, budaya dan agama. Oleh karena itu otonomi pendidikan hendaknya melibatkan semua unsur yang ada di daerah dalam rangka memajukan pendidikan dalam upaya mencerdaskan bangsa dan meningkatkan sumber daya manusia (SDM).

 

2. Plus-Minus Kebijakan Otonomi Pendidikan

Sentralisasi pendidikan yang berlangsung selama ini seakan telah memupus potensi masyarakat daerah dalam mengembangkan pendidikan dan potensi lain yang dimiliki, sementara kebijakan dan otoritas pemerintah pusat kurang dirasakan manfaatnya oleh daerah. Konsekuensinya pembangunan terpusat di Ibu kota Negara, sementara daerah mengalami kemunduran dan keterlambatan dalam pembangunan. Sentralisasi cenderung mengabaikan nilai-nilai dan norma-norma serta budaya lokal yang merupakan kekayaan dan khazanah nusantara, sehingga sistem ini cenderung mematikan kreativitas daerah dalam melakukan yang terbaik untuk daerahnya.

Kebijakan otonomi pendidikan yang dicanangkan pemerintah seiring kebijakan otonomi daerah pada dasarnya merupakan angin segar bagi daerah untuk dapat menentukan nasibnya sendiri, sehingga dapat menjadikan SDM (sumber daya manusia)nya menjadi sumber daya yang berkualitas yang bisa mengisi peluang-peluang yang ada di daerah. Di samping itu masyarakat daerah dapat merasa memiliki terhadap hasil pembangunan di bidang pendidikan karena mereka terlibat dalam pelaksanaannya.

Namun demikian otonomi daerah memungkinkan terjadi arogansi daerah, di mana daerah yang yang memiliki potensi alam yang kuat dan ditambah potensi sumber daya alam yang memadai akan dapat berkembang pesat, sementara daerah miskin yang kurang memiliki sumber daya alam, ditambah pula dengan minimnya sumber daya manusia yang berkualitas akan menjadi wilayah tertinggal. Di samping itu bagi daerah yang memiliki sumber daya alam yang cukup namun kurang memiliki sumber daya manusia yang ahli dalam bidang pendidikan mungkin merasa cukup dengan apa yang telah mereka hasilkan di bidang pendidikan, pada hal yang terjadi justru kemunduran, bila dibandingkan dengan daerah-daerah lain. Perbedaan kualitas lulusan akan menjadi realita yang muncul jika jika otonomi pendidikan terlaksana tanpa kontrol.

Sesuai denan hal ini Sudarwan Danim mengkhawatirkan ketidaksiapan SDM (sumber daya manusia) di dalam melaksanakan otonomi daerah, ditambah munculnya diskursus “memputradaerahkan” peluang-peluang tertentu, seperti jabatan-jabatan fenomenal seperti gubernur, wali kota, bupati, eselon-eselon I dan II yang ada, anggota dewan bahkan mahasiswa yang disebutnya hiperotonomi yang dapat berujung pada prilaku separatisme bias mengancam keutuhan Negara dan bangsa Indonesia ( Sudarwan, 2006:249).

Menyadari munculnya kemungkinan-kemungkinan di atas pemerintah membatasi kewenangan daerah pada aspek-aspek mikro saja, sementara aspek-aspek makro dalam bidang pendidikan masih tetap menjad kewenangan pusat, sehingga standarisasi kelulusan masih menjadi tanggungjawab pemerintah pusat, akan tetapi kewenangan secara luas telah pula diberikan kepada daerah.

Otonomi pendidikan bukan berarti menciutkan substansi pendidikan menjadi substansi lokal dan sempit, serta berorientasi pendidikan yang bersifat primordial yang dapat menimbulkan sentiment kedaerahan. Desentralisasi diartikan sebagai pelimpahan kekuasaan dan wewenang yang lebih luas kepada daerah untuk membuat perencanaan dan mengambil keputusannya sendiri dalam mengatasi permasalahan yang dihadapi di bidang pendidikan, namun harus tetap mengacu pada pendidikan nasional sebagai bagian dari upaya pencapaian tujuan pembangunan nasional (Tim, 1999: 19).


B. Manajemen Berbasis Sekolah 

Manajemen pendidikan adalah gabungan dari dua kata yang memunyai satu makna, yaitu manajemen dan pendidikan. Secara sederhana, manajemen pendidikan dapat diartikan sebagai manajemen yang dipraktikan dalam dunia pendidikan dengan spesifikasi dan ciri khas yang ada dalam pendidikan. Manajemen pendidikan pada dasarnya adalah sebuah alat yang diperlukan dalam usaha mencapai tujuan pendidikan. Unsur manajemen dalam pendidikan merupakan penerapan prinsip-prinsip manajemen dalam bisang pendidikan. Manajemen pendidikan merupakan rangkaian proses yang terdiri dari perencanaan, pengorganisasian, penggerakan, dan pengawasan yang dikaitkan dengan dunia pendidikan (Kurniadin, 2012).

Husaini Usman mendefiniskan manajemen pendidikan sebagai seni dan ilmu mengelola sumber daya pendidikan untuk mewujudkan proses dan hasil belajar peserta didik secara aktif, kreatif, inovatif, dan menyenangkan dalam mengembangkan potensi dirinya. Manajemen adalah seni dan ilmu mengelola sumber daya pendidikan mencapai tujuan pendidikan secara aktif dan efesien. Manajemen pendidikan adalah proses perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengendalian sumber daya pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan. (Usman, 2013 :14)

Pada intinya MBS merupakan salah satu wujud dari reformasi pendidikan yang menawarkan kepada sekolah untuk menyediakan pendidikan yang lebih baik dan memadai bagi para peserta didik. Otonomi dalam manajemen merupakan potensi bagi sekolah untuk meningkatkan kinerja para staf dan menawarkan pastisipasi langsung kepada masyarakat terhadap pendidikan. Kewenangan yang bertumpu pada sekolah merupakan inti dari MBS yang dipandang memiliki tingkat efektivitas tinggi serta memberikan beberapa keuntungan berikut: 

Kebijakan dan kewenangan sekolah membawa pengaruh langsung kepada peserta didik, orang tua, dan guru. 

Bertujuan bagaimana memanfaatkan sumber daya local.

Efektif dalam melakukan pembinaan peserta didik seperti kehadiran, hasil belajar, tingkat pengulangan, tingkat putus sekolah, moral guru, dan iklim sekolah. 

Adanya perhatian bersama untuk mengambil keputusan, memberdayakan guru, manajemen sekolah, rancang ulang sekolah, dan perubahan perencanaan (Mulyasa, 2014:25).


Melihat keuntungan dari MBS di atas maka sekolah dan daerah dituntut untuk mampu memberdayakan diri untuk meningkatkan mutu pendidikan. Dalam hal ini sekolah memiliki full authority and responsibility dalam menetapkan program-program pendidikan dan berbagai kebijakan sesuai dengan tujuan pendidikan. Perlu dipahami bahwa semua kebijakan dan program sekolah ditetapkan oleh komite sekolah dan dewan pendidikan yang dibentuk berdasarkan musyawarah dari pejabat daerah, kepala sekolah, tenaga kependidikan, perwakilan orang tua peserta didik, dan tokoh masyarakat. 


1. Prinsip Manajemen Barbasis Sekolah 

Terdapat empat prinsip manajemen berbasis sekolah sebagai bentuk implementasi otonomi daerah bidang pendidikan yang menjadi landasan Ahmad Zaini Aziz dalam menerjemahkan konsep manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah sesuai dengan tujuannya, yaitu otonomi, fleksibilitas, partisipasi, dan inisiatif. 

  • Prinsip otonomi 
  •  Prinsip fleksibelitas 
  •  Prinsip partispasi 
  •  Prinsip inisiatif 

2. Tujuan dan Manfaat Manajemen Berbasis Sekolah

Penerapan pengelolaan pendidikan dengan model MBS bertujuan untuk meningkatkan efesiensi, mutu, dan pemerataan pendidikan. Peningkatan efesiensi terutama diperoleh dari keleluasaan yang diberikan untuk mengelola sumber daya partisipasi masyarakat dan penyederhanaan birokrasi. Peningkatan mutu dapat diperoleh antara lain melalui partisipasi orang tua terhadap sekolah, fleksibelitas pengelolaan sekolah dan kelas, peningkatan profesionalisme guru dan kepala sekolah, serta pemberlakukan sistem insentif dan disentif. Peningkatan pemerataan dapat diperoleh melalui peningkatan partisipasi masyarakat yang memungkinkan pemerintah untuk lebih berkosentrasi pada kelompok tertentu. Hal ini dimungkinan karena pada sebagian masyarakat tumbuh rasa kepemilikan yang tinggi terhadap sekolah (Hidayat, 2012: 57 ).


3.   Karakteristik Manajemen Berbasis Sekolah 

Adaya tim yang kompak dalam menjalankan program sekolah sangat menentukan tingkat keberhasilan sekolah dalam mencapai tujuan pendidikan. Semua pihak yang terlibat dalam pelaksanaan pengelolaan pendidikan berjalan harmonis dan saling membutuhkan. Dengan demikian keberhasilan MBS merupakan hasil sinergi (sinergistic effect) dari kolaborasi tim yang kompak dan transparan (Mulyasa, 2014:36-38).

Menurut Levavic dalam Bafadal (2006), terdapat tiga karakteristik kunci MBS, yaitu sebagai berikut: 

  • Kekuasaan dan tanggung jawab dalam pengambilan keputusan yang berhubungan peningkatan mutu pendidikan didesentralisasikan kepada para staf sekolah. 
  • Domain manajemen peningkatan mutu pendidikan yang mencakup keseluruhan peningkatan mutu pendidikan, mencakup keuangan, kepegawaian, sarana dan prasarana, penerimaan siswa baru, dan 
  • kurikulum.

Walaupun keseluruhan domain manajemen peningkatan mutu pendidikan 

didesentralisasikan ke sekolah-sekolah, namun diperlukan adanya sejumlah 

regulasi yang mengatur fungsi control pusat terhadap keseluruhan pelaksanaan kewenangan dan tanggungjawab sekolah (Bafadal, 2006: 82). 

Faktor-Faktor Penting dalam Manajemen Berbasis Sekolah 

Terdapat beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam peningkatan manajemen mutu berbasis sekolah. Faktor-faktor tersebut berkaitan dengan kewajiban sekolah, kebijakan dan prioritas pemerintah, peranan orang tua dan masyarakat, peranan profesionalisme dan manajerial, serta pengembangan profesi.

a. Kewajiban sekolah 

Manajemen berbasis sekolah yang menawarkan keleluasaan pengelolaan sekolah memiliki potensi yang besar dalam menciptakan kepala sekolah, guru, dan pengelola sistem pendidikan profesional. Oleh karena itu, pelaksanaannya perlu disertai seperangkat kewajiban, serta monitoring dan tuntutan pertanggungjawaban yang relatif tinggi untuk menjamin bahwa sekolah selain memiliki otonomi juga memunyai kewajiban melaksanakan kebijakan pemerintah dan memenuhi harapan masyarakat sekolah. 


b. Kebijakan dan prioritas pemerintah 

Pemerintah sebagai penanggung jawab pendidikan nasional berhak merumuskan kebijakan-kebijakan yang menjadi prioritas nasional terutama yang berkaitan dengan program peningkatan melek huruf dan angka, efesiensi, mutu, dan pemerataan pendidikan. Dalam hal-hal tersebut sekolah tidak diperbolehkan berjalan sendiri dengan mengabaikan kebijakan dan standar yang ditetapkan oleh pemerintah yang dipilih secara demokratis. Agar prioritas-prioritas pemerintah dilaksanakan oleh sekolah dan semua aktivitas sekolah ditujukan untuk memberikan pelayanan kepada peserta didik sehingga dapat belajar dengan baik, pemerintah perlu merumuskan seperangkat pedoman umum tentang pelaksanaan MBS. Pedoman-pedoman tersebut terutama ditujukan untuk menjamin bahwa hasil pendidikan (student outcomes) terevaluasi dengan baik, kebijakan-kebijakan pemerintah dilaksanakan secara efektif, sekolah dioperasikan dalam kerangka yang disetujui oleh pemerintah, dan anggaran dibelanjakan sesuai dengan tujuan. 


c. Peranan orang tua dan masyarakat 

MBS menunut dukungan tenaga kerja yang terampil dan berkualitas untuk membangkitkan motivasi kerja yang lebih produktif dan memberdayakan otoritas daerah setempat, serta mengefesiensikan sistem dan menghilangkan birokrasi yang tumpang tindih. Untuk kepentingan tersebut, diperlukan partisipasi masyarakat. Partisipasi masyarakat merupakan bagian penting dalam manajemen berbasis sekolah, khususnya dalam pembuatan keputusan. Dengan demikian, masyarakat dapat lebih memahami, dan dapat mengawasi serta membantu sekolah dalam pengelolaan dan kegiatan belajar mengajar. Besaranya partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sekolah memungkinkan dapat menimbulkan rancunya kepentingan antar sekolah, orang tua, dan masyarakat. Oleh karenanya, dalam hal ini pemerintah perlu merumuskan bentuk partisipasi (pembagian tugas) setiap unsur secara jelas dan tegas. 


d. Peranan profesional dan manajerial

 Manajemen berbasis sekolah menuntut perubahan-perubahan tingkah laku kepala sekolah, guru, dan tenaga administrasi dalam mengoperasikan sekolah. Pelaksanaan MBS berpotensi meningkatkan gesekan peranan yang bersifat profesional dan manajerial. Untuk memenuhi persyaratan pelaksanaan MBS, kepala sekolah guru dan tenaga administrasi harus memiliki kedua sifattersebut yaitu, profesional dan manajerial. Pengembangan profesi Dalam MBS pemerintah harus menjamin bahwa semua unsur penting tenaga kependidikan (sumber daya manusia) menerima pengembangan profesi yang diperlukan untuk mengelola sekolah secara efektif. Oleh karena itu perlu adanya pusat pengembangan profesi yang berfungsi sebagai penyedia jasa pelatihan bagi tenaga kependidikan (Mulyasa, 2014: 27-29).


C. Pendidikan Berbasis Masyarakat

Pendidikan berbasis masyarakat (Community Based Education) merupakan pengembangan dari Manajemen berbasis sekolah ( School Based Management) yang memberikan otonomi kepada sekolah, dalam hal ini kepala sekolah yang mengelola pendidikan dan menyelenggarakan proses belajar mengajar di sekolah. Masyarakat (Community) dalam pengetian ini dapat dibedakan menjadi 2 yaitu masyarakat biasa (general public) dan masyarakat khusus (special public). Masyarakat biasa yang secara struktural maupun fungsional memiliki keterlibatan khusus dengan sekolah. Sedangkan masyarakat khusus adalah masyarakat yang sudah menjalin kerja sama dengan pihak madrasah, seperti orang tua (wali murid), komite sekolah, kelompok-kelompok donatur dan organisasai/instansi yang memiliki ikatan kerja dengan madrasah (stakeholder). Keterlibatan masyarakat dilatar belakangi dasar

pemikiran bahwa kemajuan sebuah masyrakat ditentukan oleh kualifikasi dan potensi sumber daya manusia (Misyanto).

Pendidikan berbasis masyarakat dalam Undang-Undang Republik Indonesia tahun 2003 Bab 1 pasal 1 ayat 16 tentang Sistem Pendidikan Nasional dirumuskan sebagai penyelenggaraan pendidikan berdasarkan kekhasan agama, sosial, budaya, aspirasi, dan potensi masyarakat sebagai perwujudan pendidikan dari, oleh, dan untuk masyarakat.

Bagi masyarakat Indonesia yang heterogen, yang bersifat multi religius, multi kultur, multi aspirasi dan potensi, konsep pendidikan berbasis masyarakat ini sangat tepat diterapkan, karena konsep pendidikan berbasis masyarakat ini memberi penekanan pada perbedaan tersebut dengan menjadikan perbedaan yang ada sebagai kekayaan yang harus diakomodir, bukan dieliminir.

Dalam konsep pendidikan berbasis masyarakat, masyarakat sebagai elemen sosial diberdayakan melalui peran serta mereka dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan. Masyarakat berhak berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan. Masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan amanat yang diberikan dalam Undang-Undang Republik Indonesia tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Dapat dikatakan bahwa pendidikan berbasis masyarakat merupakan upaya untuk memberdayakan secara menyeluruh elemen sumber daya manusia (SDM) yang disinyalir mampu melahirkan SDM (sumber daya manusia) yang mempuni dan dapat memanfaatkan sumber daya dan potensi diri dan alam yang dimiliki.

Dengan konsep pendidikan berbasis masyarakat ini diharapkan konsentrasi pendidikan tidak terpusat di daerah-daerah perkotaan semata, karena seluruh masyarakat baik di desa maupun di kota diharapkan memiliki sumbangan terhadap pendidikan dan pemberdayaan masyarakat itu sendiri.

Keseriusan pemerintah Indonesia dalam merealisasikan pendidikan dari masyarakat, oleh dan untuk masyarakat (pendidikan berbasis masyarakat) ini. Hal ini terlihat dari butir-butir Undang-Undang Republik Indonesia tahun 2003 Bab XVbagian

2 pasal 55 ayat 4 tentang Sistem Pendidikan Nasional dinyatakan bahwa lembaga pendidikan berbasis masyarakat dapat memperoleh bantuan teknis, subsidi dana, dan sumber daya lain secara adil dan merata dari Pemerintah dan/atau pemerintah daerah.


D. Kesimpulan

Otonomi pendidikan dengan asas desentralisasi akan melahirkan warga negara yang inovatif, bisa bersaing dan dapat bekerjasama membangun suatu masyarakat yang demokratis.

Manajemen pendidikan pada dasarnya adalah sebuah alat yang diperlukan dalam usaha mencapai tujuan pendidikan. Unsur manajemen dalam pendidikan merupakan penerapan prinsip-prinsip manajemen dalam bisang pendidikan.

Pendidikan berbasis masyarakat (Community Based Education) merupakan pengembangan dari Manajemen berbasis sekolah ( School Based Management) yang memberikan otonomi kepada sekolah, dalam hal ini kepala sekolah yang mengelola pendidikan dan menyelenggarakan proses belajar mengajar di sekolah.


E. Sumber; 

Abdul Rachman Saleh. (2004) Madrasah dan Pendidikan Anak Bangsa, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada

Dede Rosada. (2003). Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani. Jakarta: ICCE Syarif Hidayatullah

Umaedi. (2001). Menejemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, Jakarta: Dikdasmen

Dede Rosada. (2003). Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani. Jakarta: ICCE Syarif Hidayatullah

Hidayat, Ara dan Machali, Imam. (2012). Pengelolaan Pendidikan: Konsep, Prinsip, dan Aplikasi dalam Mengelola Sekolah dan Madrasah. Yogyakarta: Kaukaba, 2012 

Misyanto, “Pendidikan Berbasis Masyarakat ( Community Based Education) Menuju Madrasah Unggul”, dalam : http://media.diknas.go.id/media/document/5679.pdf 

Mulyasa. (2014). Manajemen Berbasis Sekolah: Konsep, Strategi, dan Implimentasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya

Sudarwan, Danim. (2006).  Agenda Pembaruan Sistem Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Sufyarma. (2004). Kapita Selekta Manajemen Pendidikan. Bandung, Alfa Beta

Tim Teknis Bappenas Bekerjasama dengan Bank Dunia. (1999).  Menuju Desentralisasi Pengelolaan Pendidikan Dasar. Jakarta: Bappenas Bekerjasama dengan Bank Dunia

Usman, Husaini. (2013). Manajemen: Teori Praktik dan Riset Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara 

Share:

Wednesday, May 11, 2022

KONSEP KEKUASAAN: HUBUNGAN KEKUASAN DAN PENDIDIKAN SERTA PERAN NEGARA DALAM MEMBANGUN PENDIDIKAN

Pixabay.com

Kepemimpinan adalah proses mempengaruhi aktifitas individu atau kelompok untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu dalam situasi tertentu. Dalam mempengaruhi aktifitas individu untuk mencapai tujuan tertentu, seorang pemimpin menggunakan kekuasaan, kewenangan, pengaruh, sifat dan karakteristik, dan tujuannya adalah meningkatkan produktifitas dan moralitas kelompok.

Kekuasaan adalah kemampuan seseorang menarik orang lain untuk melakukan sesuatu. Kekuasaan bersumber dari legitimasi, baik dan paksaan. Kewenangan merupakan hak formal untuk mengajak seseorang melakukan sesuatu. Sementara sifat dan karakteristik adalah ciri-ciri personal yang menyebabkan seseorang mampu mempengaruhi orang lain. Masing-masing sumber yang ditetapkan oleh seorang pemimpin tidak dapat dipisahkan secara tegas. Semuanya dapat membawa baik suksesnya maupun gagalnya kepemimpinan. Tujuan pendidikan sangat bergantung pada kecakapan dan kebijaksanaan kepemimpinan kepala sekolah yang merupakan salah satu pemimpin pendidikan. Karena kepala sekolah merupakan soerang pejabat yang profesional dalam organisasi sekolah yang bertugas mengatur semua sumber organisasi dan bekerjasama dengan guru-guru dalam mendidik siswa untuk mencapai tujuan pendidikan. Dengan keprofesionalan kepala sekolah ini pengembangan profesionalisme tenaga kependidikan mudah dilakukan karena sesuai dengan fungsinya, kepala sekolah memahami kebutuhan sekolah yang ia pimpin sehingga kompetensi guru tidak hanya berhenti pada kompetensi yang ia miliki sebelumnya, melainkan bertambah dan berkembang dengan baik sehingga profesionalisme guru akan terwujud. Pendidikan adalah identik dengan investasi bernilai yang akan dapat melesatkan mutu dari Sumber Daya Manusia (SDM) yang dibutuhkan dalam 3 pembangunan. Semakin tinggi pendidikan dikenyam, semakin tinggi pula kualitas yang dimiliki suatu bangsa.SDM yang unggul akan tercetak dan terbangun oleh pendidikan yang baik. 

Dalam kerangka pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia, batas-batas kekuasaan pemerintah pusat dan daerah perlu dirumuskan agar pendidikan tetap merupakan upaya pengembangan potensi manusia untuk mewujudkan individualitasnya. Kekuasaan dalam pendidikan dan kekuasaan negara bertemu dalam ruang edukatif. kedua kekuasaan tersebut harus memiliki titik tolak yang sama agar tidak saling berinterferensi .


A. Konsep-Konsep kekuasaan

1. Definisi Konsep Kekuasaan:

Kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau sekelompok manusia untuk mempengaruhi tingkah laku seseorang atau kelompok lain sedemikian rupa sehingga tingkah laku itu menjadi sesuai dengan keinginan dan tujuan dari orang yang mempunyai kekuasaan itu. Gejala kekuasaan adalah gejala yang lumrah terdapat dalam setiap masyarakat, dalam semua bentuk hidup bersama. Manusia mempunyai bermacam-macam keinginan dan tujuan yang ingin sekali dicapai. Untuk itu dia sering memaksakan kemauannya atas orang atau kelompok lain. Hal ini menimbulkan perasaan pada dirinya bahwa mengendalikan orang lain adalah syarat mutlak untuk keselamatannya sendiri. Maka dari itu bagi orang banyak, kekuasaan itu merupakan sesuatu nilai yang ingin dimiliki. Kekuasaan sosial terdapat dalam semua hubungan sosial dan dalam semua organisasi sosial.

Kekuasaan sosial menurut Ossip K. Flechthein adalah “ Keseluruhan dari kemampuan, hubungan-hubungan dan proses-proses yang menghasilkan ketaatan dari pihak lain untuk tujuan-tujuan yang telah ditetapkan oleh pemegang kekuasaan”. Definisi yang diberikan oleh Robet M. MacIver adalah “ Kekuasaan sosial adalah kemampuan untuk mengendalikan tingkah laku orang lain, baik secara langsung dengan jalan memberi perintah, maupun secara tidak langsung dengan mempergunakan segala alat dan cara yang tersedia”. Kekuasaan sosial terdapat dalam semua hubungan sosial dan dalam semua organisasi sosial.

Kekuasaan biasanya berbentuk hubungan (relationship), dalam arti bahwa ada satu pihak yang memerintah dan ada pihak yang diperintah (the ruler and the ruled); satu pihak yang memberi perintah, satu pihak yang mematuhi perintah. Tidak ada persamaan martabat, selalu yang satu lebih tinggi daripada yang lain dan selalu ada unsur paksaan dalam hubungan kekuasaan. Paksaan tidak selalu perlu dipakai secara gamblang, tetapi adanya kemungkinan paksaan itu dipakai, sering sudah cukup.

Setiap manusia sekaligus merupakan subyek dari kekuasaan dan obyek dari kekuasaan. Misalnya seorang presiden membuat undang-undang, tetapi disamping itu dia harus tunduk kepada undang-undang. Sumber kekuasaan terdapat dalam berbagai  segi. Dia dapat bersumber dari kekerasan fisik, dapat juga bersumber pada kedudukan , pada kekayaan, atau kepercayaan, dan lain-lain.

Kekuasaan adalah kewenangan yang didapatkan oleh seseorang atau kelompok guna menjalankan kewenangan tersebut sesuai dengan kewenangan yang diberikan, kewenangan tidak boleh dijalankan melebihi kewenangan yang diperolehatau kemampuan seseorang atau kelompok untuk memengaruhi tingkah laku orang atau kelompok lain sesuai dengan keinginan dari pelaku (Miriam Budiardjo,2002) atau Kekuasaan merupakan kemampuan memengaruhi pihak lain untuk berpikir dan berperilaku sesuai dengan kehendak yang memengaruhi (Ramlan Surbakti,1992). Dalam pembicaraan umum, kekuasaan dapat berarti kekuasaan golongan, kekuasaan raja, kekuasaan pejabat negara. Sehingga tidak salah bila dikatakan kekuasaan adalah kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain menurut kehendak yang ada pada pemegang kekuasaan tersebut. Robert Mac Iver mengatakan bahwa Kekuasaan adalah kemampuan untuk mengendalikan tingkah laku orang lain baik secara langsung dengan jalan memberi perintah / dengan tidak langsung dengan jalan menggunakan semua alat dan cara yg tersedia. Kekuasaan biasanya berbentuk hubungan, ada yg memerintah dan ada yg diperintah. Manusia berlaku sebagai subjek sekaligus objek dari kekuasaan. Contohnya Presiden, ia membuat UU (subyek dari kekuasaan) tetapi juga harus tunduk pada Undang-Undang (objek dari kekuasaan).

B. Hubungan Kekuasaan dan Pendidikan

Kekuasaan tidak terbatas dimiliki oleh pemerintahan diktator saja, tetapi telah memasuki dunia kebudayaan dan pendidikan. Proses pendidikan ternyata seringkali digunakan untuk memperkuat dan memperlemah resistensi demi kelanggengan struktur kekuasaan dengan mempertahankan ideologi dan hegemoni negara. Dalam kerangka pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia, batas-batas kekuasaan pemerintah pusat dan daerah perlu dirumuskan agar pendidikan tetap merupakan upaya pengembangan potensi manusia untuk mewujudkan individualitasnya. Kekuasaan dalam pendidikan dan kekuasaan negara bertemu dalam ruang edukatif. kedua kekuasaan tersebut harus memiliki titik tolak yang sama agar tidak saling berinterferensi .

Proses pendidikan yang sebenarnya adalah proses pembebasan dengan jalan memberikan kepada peserta didik suatu kesadaran akan kemampuan kemandirian, atau memberikan kekuasaan padanya untuk menjadi individu. Proses individualisasi hanya terjadi dalam tatanan masyarakat yang berbudaya.

Dari kacamata pendidikan dan melihat proses pendidikan yang menyeluruh disana terdapat suatu gerakan yang membawa kekuatan dan menggerakkan kebutuhan yang diminta masyarakat guna peningkatan taraf hidupnya. Tidak jarang kekuasaan-kekuasaan menyelimuti pendidikan di dalam berbagai bentuknya. Kekuasaan tersebut dapat berwujud objektif atau terang-terangan atau juga dapat berwujud subjektif atau secara tidak disadari telah mengarahkan kegiatan-kegiatan pendidikan yang dikenal sebagai “hidden curriculum”.

Ekspresi yang negatif dari kekuasaan dalam pendidikan dapat kita lihat misalnya dalam perubahan pendidikan pada masyarakat yang relative masih tertutup. Suatu penelitian tentang perubahan pendidikan dalam masyarakat Dayak menunjukkan bagaimana masyarakat yang semula berjalan dengan tenang di suatu rumah yang panjang dan dilaksanakan oleh suatu kelompok masyarakat yang tertutup yang boleh dikatakan dalam situasi masyarakat yang stabil mengalami perubahan-perubahan besar dengan masuknya teknologi informasi yang masuk melembas ke hutan-hutan yang terisolasi. Adanya perubahan pendidikan dalam keluarga telah merubah pola-pola pengaruh kekuasaan dari struktur yang ada di masyarakat dayak. Transformasi social yang terjadi dalam suatu keluarga berarti pergeseran kekuasaan yang dimiliki oleh “tua-tua” masyarakat dan beralih kepada kekuasaan informasi oleh teknologi informasi yaitu televise dan parabola.

Kekuatan media massa dalam masyarakat modern diakui oleh para pakar. Di daerah maju seperti kota-kota besar transformasi social menjadi sangat cepat sehingga proses pendidikan yang ada dalam keluarga mengalami perubahan yang revolusioner bahkan mengalami tekanan dan berbagai kekuasaan yang mempengaruhi keluarga, yaitu dari suatu keluarga yang tertutup menjadi keluarga yang terbuka. Tidak jarang norma-norma yang menguasai keluargamenjadi berubah.

Setelah kita melihat gambaran pendidikan dan kekuasaan yang melibatkan seluruh aspek manusia, maka timbul pertanyaan dari kita apakah kekuasaan mempunyai tempat dalam pendidikan. Ada kaitan erat antara pendidikan dan kekuasaan. Justru karena adanya proses kekuasaan itulah terjadi proses pendidikan. Hanya masalahnya ialah, apakah kekuasaan itu sesuai dengan arah dan proses pendidikan yang sebenarnya atau tidak? Marilah kita melihat arti yang hakiki antara kekuasaan dan pendidikan.

Pengertian kekuasaan dalam pendidikan rupanya mempunyai konotasi yang berbeda dengan pengertian kekuasaan sebagaimana yang kita lihat dari kehidupan sehari-hari. Dapat kita bedakan antara jenis kekuasaan: 1) kekuasaan yang transformatif; 2) kekuasaan yang berfungsi sebagai transmitif.

Kekuasaan dalam pendidikan adalah bentuk kekuasaan yang transformative. Tujuannya adalah dalam proses terjadinya hubungan kekuasaan tidak ada bentuk subordinasi antara subjek dengan subjek yang lainnya. Kekuasaan yang transformative bahkan membangkitkan refleksi, dan refleksi tersebut menimbulkan aksi orientasi yang terjadi dalam aksi tersebut merupakan aksi orientasi yang advokatif.

Pendidikan dan politik adalah dua elemen penting dalam sistem sosial politik di setiap negara, baik negara maju maupun negara berkembang.Keduanya satu sama lain saling menunjang dan saling mengisi. Lembaga- lembaga dan proses pendidikan berperan penting dalam membentuk perilaku politik masyarakat di negara tersebut, begitupun sebaliknnya. Hubungan erat dan dinamis antara pendidikan dan politik di setiap negara ialah realitas empiris yang telah terjadi sejak awal perkembangan peradapan manusia menjadi perhatian para ilmuan.

Tidak dapat dipungkiri bahwa lembaga pendidikan merupakan salah satu konstitusi politik. Peranan yang dimainkan oleh masjid-masjid dan madrasah-madrasah dalam mengkokohkan kekuasaan politik para penguasa dapat dilihat dalam sejarah. Di lain pihak, ketergantungan kepada ulurang tangan para penguasa secara ekonomis, membuat lembaga-lembaga tersebut harus sejalan dengan nuansa politik yang berlaku (Rasyid, 1994: 6)

Kedudukan politik didalam Islam sama pentingnya dengan pendidikan. Tanpa otoriras politik, syariat Islam sulit bahkan mustahil untuk ditegakan. Kekuasaan adalah sarana untuk mempertahankan syiar Islam. Pendidikan bergerak dalam usaha menyadarkan umat untuk menjalankan syariat. Umat tidak akan mengerti syariat tanpa pendidikan. Bila politik (kekuasaan) berfungsi mengayomi dari atas, maka pendidikan melakukan pembenahan lewat arus bawah (Rasyid,1994: 15).

Kutipan di atas menegaskan bahwa hubungan antara politik dan pendidikan di dalam Islam tampak demikian erat. Perkembangan kegiatan-kegiatan kependidikan banyak dipengaruhi oleh para penguasa dan para penguasa memerlukan dukungan institusi-intstitusi pendidikan untuk membenarkan dan mempertahankan kekuasaan mereka.


C. Peran Negara dalam Pembangunan Pendidikan

Pendidikan merupakan salah satu hak asasi manusia sebagaimana yang diatur dalam Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945. Demikian pula dalam Amandemen  ke-IV undang-undang dasar tersebut lebih diperjelas mengenai penyelenggaraan pendidikan yang merupakan salah satu hak asasi manusia yang harus diperhatikan dalam penyelenggaraan negara.

Peran Negara dalam Pendidikan tidak dapat dipisahkan dalam proses pendidikan, sejak Plato maupun pakar pendidikan dalam kehidupan negara-negara modern, negara merupakan suatu unit berdasarkan kekuasaan. Michael W. Apple di dalam bukunya yang terkenal Education and Power, 1985. Menjelaskan bahwa politik kebudayaan suatu negara disalurkan melalui lembaga-lembaga pendidikan.

Pemerintah memegang peranan penting dalam meningkatkan kualitas pendidikan anak-anak Indonesia, utamanya mulai dari ketersediaan sarana dan prasarana minimal berupa gedung sekolah yang layak, hingga sampai pada ketersediaan berbagai fasilitas pendukung pendidikan lainnya. Bagi sekolah-sekolah yang berada di perkotaan, sekolah yang rusak berat dan masih belum direhabilitasi sangat banyak ditemui, apalagi di daerah-daerah terpencil di Indonesia. Dengan kata lain, sekolah-sekolah diperkotaan saja kondisinya masih demikian, apalagi di pelosok Indonesia.

Selain ketersediaan sarana dan prasarana fisik dan berbagai fasilitas pendukung pendidikan lainnya yang masih terbatas dan belum menjangkau seluruh wilayah NKRI, kurikulum pendidikan dasar pun menjadi permasalahan. Kurikulum yang seringkali berubah seiring dengan pergantian rezim pemerintahan menyebabkan anak-anak usia sekolah dasar menjadi korbannya. Anak-anak usia sekolah dasar merupakan anak-anak yang mind set berfikirnya belum terbentuk, anak-anak tersebut masih dalam tahap amati dan tiru, belum sampai tahap modifikasi. Selain itu, beban kurikulum yang berat menyebabkan anak-anak kehilangan kreativitasnya karena hanya dibebani dengan mata pelajaran yang terkonsep dan berpola baku secara permanen. Artinya, apa yang di dapat di sekolah, itulah yang ada pada dirinya, tanpa kecuali.

Pemerintah harus menyadari bahwasannya anak-anak merupakan investasi masa depan sebuah bangsa. Merekalah yang kelak akan mengisi ruang-ruang proses berbangsa dan bernegara. Wajar saja ketika banyak orang menyerukan bahwa anak adalah bibit-bibit atau tunas yang harus diperhatikan dan dirawat dengan baik. Merekalah pewaris masa depan, tulang punggung dan harapan bangsa dan negara ada di pundak mereka. Namun, harapan itu ternyata masih membentur tembok yang sangat besar. Ternyata masih banyak di temukan anak-anak kurang mampu harus berhenti sekolah karena tidak memiliki biaya. Sering dijumpai bahwa anak-anak Indonesia harus dipaksa mengemis demi menghidupi keluarga, melakukan tindak kriminal dan terlantar karena ketimpangan ekonomi. Tidak jarang pula anak-anak seringkali menghadapi bentuk-bentuk kekerasan baik fisik maupun non fisik. Padahal, anak-anak Indonesia harusnya berada di rumah, belajar dengan baik dan menikmati tugas-tugas bagi tumbuh kembang diri mereka. Disinilah peran pemerintah harus ditingkatkan dalam rangka peningkatan pendidikan anak-anak Indonesia.

Pendidikan Karakter merupakan proses pemberian tuntunan peserta/anak didik agar menjadi manusia seutuhnya yang berkarakter dalam dimensi hati, pikir, raga, serta rasa dan karsa. Peserta didik diharapkan memiliki karakter yang baik meliputi kejujuran, tanggung jawab, cerdas, bersih dan sehat, peduli, dan kreatif.

Pemerintah melalui Kemendiknas meluncurkan sebuah program pendidikan, yang dikenal dengan Pendidikan Karakter. Dominasi ranah kognitif dan psikomotorik harus dikurangi, ranah afektif sudah seharusnya menjadi fokus utama. Sehingga terbentuklah manusia-manusia yang berkarakter luhung, berbudi pekerti tinggi. Manusia-manusia seperti inilah yang diharapkan mampu membawa bangsa Indonesia menjadi jauh lebih baik, menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang berbudaya tinggi.

Pendidikan karakter dibutuhkan untuk mencegah setiap perbuatan-perbuatan yang tidak baik yang dapat merusak pendidikan di Indonesia. Oleh karena itu, semua peran sangat dibutuhkan untuk memajukan sistem pendidikan di Indonesia agar pendidikan di Indonesia mengalami pemerataan, peningkatan dan perubahan yang signifikan. Pendidikan Karakter bertujuan untuk memberikan pengetahuan tentang hal yang baik dan buruk, kemudian membuat hal yang baik menjadi suatu kebiasaan. Budaya ini harus dipelihara agar pendidikan di Indonesia berkembang dan bisa menjadi daya saing bagi pendidikan lainnya secara global.

Pendidikan memegang peranan yang sangat penting dalam proses peningkatan kualitas sumber daya manusia dan merupakan suatu proses yang terintegrasi dengan proses peningkatan kualitas sumber daya manusia itu sendiri. Menyadari pentingnya proses peningkatan kualitas sumber daya manusia, maka Pemerintah telah berupaya mewujudkan amanat tersebut melalui berbagai usaha pembangunan pendidikan yang lebih berkualitas melalui pengembangan dan perbaikan kurikulum dan sistem evaluasi, perbaikan sarana pendidikan, pengembangan dan pengadaan materi ajar, serta pelatihan bagi guru dan tenaga kependidikan lainnya. Tetapi kenyataan belum cukup dalam meningkatkan kualitas pendidikan.


D. Kesimpulan

Kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau sekelompok manusia untuk mempengaruhi tingkah laku seseorang atau kelompok lain sedemikian rupa sehingga tingkah laku itu menjadi sesuai dengan keinginan dan tujuan dari orang yang mempunyai kekuasaan itu.

Kekuasaan tidak terbatas dimiliki oleh pemerintahan diktator saja, tetapi telah memasuki dunia kebudayaan dan pendidikan. Proses pendidikan ternyata seringkali digunakan untuk memperkuat dan memperlemah resistensi demi kelanggengan struktur kekuasaan dengan mempertahankan ideologi dan hegemoni negara.

Peran Negara dalam Pendidikan tidak dapat dipisahkan dalam proses pendidikan, sejak Plato maupun pakar pendidikan dalam kehidupan negara-negara modern, negara merupakan suatu unit berdasarkan kekuasaan. Michael W. Apple di dalam bukunya yang terkenal Education and Power, 1985. Menjelaskan bahwa politik kebudayaan suatu negara disalurkan melalui lembaga-lembaga pendidikan.


F. Sumber;

Sirozi, Muhammad. Politik Pendidikan . Jakarta: RajaGrafindo Persada. 2005

Tilaar. Kekuasaan dan Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta: 2009

Budiardjo, Miriam. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: 2002

Surbakti, Ramlan. Memahami Ilmu Politik. Jakarta:1992

Rasyid. Statistika Sosial. Jakarta: 1994

Abdullah Khozin Afandi. Konsep Kekuasaan Michel Faucault. Jakarta: 2015

http://isomfuadifikri.blogspot.com/2012/07/hubungan-pendidikan-dan-kekuasaan-pada.html. Diaskes pada tanggal 28 september 2013


Share:

Tuesday, May 10, 2022

AKUNTABILITAS PENDIDIKAN

Pixxabay.com

Penyelenggaraan manajemen pendidikan yang memenuhi prinsip akuntabilitas, tampaknya masih melewati jalan panjang, dan berliku-liku. Walaupun tuntutan akan manajemen pendidikan yang akuntabel terus disuarakan banyak pihak, belum semua aparatus pendidikan menyambutnya. Ini sangat berkaitan dengan persoalan kemauan, kemampuan, persepsi, dan kepercayaan.

Karena itu makalah ini ditulis untuk melanjutkan proses mengurai benang kusut yang hampir putus itu. Uraian disandarkan pada pengertian akuntabilitas pendidikan, tujuan akuntabilitas pendidikan, manfaat akuntabilitas pendidikan, pelaksana akuntabilitas pendidikan, pelaksanaan akuntabilitas pendidikan, langkah-langkah akuntabilitas pendidikan, faktor-faktor yang mempengaruhi akuntabilitas pendidikan, dan upaya peningkatan akuntabilitas pendidikan.


Nilai dan kultur, serta matinya perasaan terdesak menjadi faktor penghadang di depan. Tetapi hanya dengan kemauan dan visi perubahan niscaya prinsip akuntabilitas dapat membumi di sekolah.


A.  URGENSI PENDIDIKAN

Sebagaimana yang diungkapkan Daoed Joesoef tentang pentingnya pendidikan : Pendidikan merupakan segala bidang penghidupan, dalam memilih dan membina hidup yang baik, yang sesuai dengan martabat manusia Dan tentulah dari pernyataan tersebut kita bisa mengambil kesimpulan bahwa Pendidikan merupakan hal yang sangat penting dan tidak bisa lepas dari kehidupan.

Menjadi bangsa yang maju tentu merupakan cita-cita yang ingin dicapai oleh setiap negara di dunia. Sudah menjadi suatu rahasia umum bahwa maju atau tidaknya suatu negara di pengaruhi oleh faktor pendidikan. Begitu pentingnya pendidikan, sehingga suatu bangsa dapat diukur apakah bangsa itu maju atau mundur, sarna seperti yang kita ketahui bahwa suatu Pendidikan tentunya akan mencetak Sumber Daya Manusia yang berkualitas baik dari segi spritual, intelegensi dan skill dan pendidikan merupakan proses mencetak generasi penerus bangsa. Apabila output dari proses pendidikan ini gagal maka sulit dibayangkan bagaimana dapat mencapai kemajuan.

Bagi suatu bangsa yang ingin maju, pendidik harus dipandang sebagai sebuah kebutuhan sama halnya dengan kebutuhan-kebutuhan lainnya. Maka tentunya peningkatan mutu pendidikan juga berpengaruh terhadap perkembangan suatu bangsa. Kita ambil contoh Amerika, mereka takkan bisa jadi seperti sekarang ini apabila maaf pendidikan mereka setarap dengan kita. Lalu bagaimana dengan Jepang? si ahli Teknologi itu? Jepang sangat menghargai Pendidikan, mereka rela mengeluarkan dana yang sangat besar hanya untuk pendidikan bukan untuk kampanye atau hal lain tentang kedudukan seperti yangmaaf Indonesia lakukan. Tak ubahnya negara lain, seperti Malaysia dan Singapura yang menjadi negara tetangga kita.

Mungkin sedikit demi sedikit Indonesia juga sadar akan pentingnya pendidikan. Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) yang jatuh pada tanggal 2 Mei menitikberatkan atau mengambil tema pendidikan karakter untuk membangun peradaban bangsa dan seperti yang diberitakan bahwa Kementrian Pendidikan Nasional telah menyediakan infrastruktur terkait akses informasi bekerja sama dengan MNC Group, melalui TV berbayarnya, Indovision menyiarkan siaran televisi untuk pendidikan.Dan juga penyediaan taman bacaan di pusat perbelanjaan. Namun apakah pendidikan karakter ini bisa mengubah masalah-masalah yang sering kita hadapi dalam dunia pendidikan? Didalam UU No.20/2003 tentang sistem pendidikan Nasional, tercantum pengertian pendidikan: pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya sehingga memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan oleh dirinya, masyarakat, banga dan negara.



B. PENGERTIAN AKUNTABILITAS PENDIDIKAN

McAshan (1983) menyebutkan bahwa akuntabilitas adalah kondisi seseorang yang dinilai oleh orang lain karena kualitas performannya dalam menyelesaikan tujuan yang menjadi tanggungjawabnya. Sedangkan John Elliot (1981:15-16) merinci makna yang terkandung di dalam akuntabilitas, yaitu : 

(1) cocok atau sesuai (fitting In) dengan peranan yang di harapkan, 

(2) menjelaskan dan mempertimbangkan kepada orang lain tentang keputusan dan tindakan yang di ambilnya, 

(3) performan yang cocok dan meminta pertimbangan/penjelasan kepada orang lain. Akuntabilitas membutuhkan aturan, ukuran atau kriteria, sebagai indikator keberhasilan suatu pekerjaan atau perencanaan. 

Dengan demikian, maka akuntabilitas adalah suatu keadaan performan para petugas yang mampu bekerja dan dapat memberikan hasil kerja sesuai dengan criteria yang telah di tentukan bersama sehingga memberikan rasa puas pihak lain yang berkepentingan. Sedangkan akuntabilitas pendidikan adalah kemampuan sekolah mempertanggungjawabkan kepada publik segala sesuatu mengenai kinerja yang telah dilaksanakan.


Scorvis D. Anderson dalam bukunya Accountability What, Who, and Whither? Dalam Made Pidarta (1988), menyebutkan lima bagian yang merupakan manifestasi dari akuntabilitas, yaitu :

  • Mengontrak performan. Performan di tentukan kriterianya dan disepakati bersama. Artinya pertugas pelaksana tidak boleh menyimpang dari kriteria tersebut.
  • Memiliki kunci pembentuk arah dalam bentuk biaya dan usaha performan yang dikontrak/ditentukan, diharapkan tercapai tujuan secara efektif sehingga pengontrak merasa puas.
  • Unsur pemeriksaan yang dilakukan oleh orang-orang bebas dan tidak terlibat dalam kegiatan internal, seperti orang tua siswa, masyarakat, atau pemerintah.
  • Memberikan jaminan, dalam bidang pendidikan mutu dapat terjamin dengan menggunakan kriteria atau ukuran tertentu.
  • Pemberian insentif, diberikan sebagai penghargaan dan dapat di ukur menurut kriteria tertentu, dengan maksud untuk meningkatkan motivasi dan sistem kompetisi dalam meningkatkan performan.

Akuntabilitas dalam bidang pendidikan, seperti yang di katalkan oleh H.H. Mc Ashaan, yaitu:

Program dan manajemen personalia yang mengarah kepada tujuan, Penekanan manajemen yang efektif dan efisien, dan Pengembangan program, pengembangan personalia, peningkatan hubungan dengan masyarakat, dan kegiatan-kegiatan manajemen. (Supriadi, 2001)

Menurut jenisnya, akuntabilitas dapat dikategorikan menjadi 4:

  • Akuntabilitas kebijakan, yaitu akuntabilitas pilihan atas kebijakan yang akan dilaksanakan,
  • Akuntabilitas kinerja (product/quality accountability), yaitu akuntabilitas yang berhubungan dengan pencapaian tujuan sekolah,
  • Akuntabilitas proses, yaitu akuntabilitas yang berhubungan dengan proses, prosedur, aturan main, ketentuan, pedoman, dan sebagainya., dan
  • Akuntabilitas keuangan (kejujuran) atau sering disebut (financial accountability), yaitu akuntabilitas yang berhubungan dengan pendapatan dan pengeluaran uang (cash in and cash out). Sering kali istilah cost accountability juga digunakan untuk kategori akuntabilitas ini. (Syahrudin, 2003)


C. TUJUAN AKUNTABILITAS PENDIDIKAN

Tujuan akuntabilitas pendidikan adalah agar terciptanya kepercayaan publik terhadap sekolah. Kepercayaan publik yang tinggi akan sekolah dapat mendorong partisipasi yang lebih tinggi pula terdapat pengelolaan manajemen sekolah. Sekolah akan dianggap sebagai agen bahkan sumber perubahan masyarakat. Slamet (2005:6) menyatakan: Tujuan utama akuntabilitas adalah untuk mendorong terciptanya akuntabilitas kinerja sekolah sebagai salah satu syarat untuk terciptanya sekolah yang baik dan terpercaya. Penyelenggara sekolah harus memahami bahwa mereka harus mempertanggungjawabkan hasil kerja kepada publik.

Selain itu, tujuan akuntabilitas adalah menilai kinerja sekolah dan kepuasaan publik terhadap pelayanan pendidikan yang diselenggarakan oleh sekolah, untuk mengikutsertakan publik dalam pengawasan pelayanan pendidikan dan untuk mempertanggungjawabkan komitmen pelayanan pendidikan kepada publik. Rumusan tujuan akuntabilitas di atas hendak menegaskan bahwa akuntabilitas bukanlah akhir dari sistem penyelenggaran manajemen sekolah, tetapi merupakan faktor pendorong munculnya kepercayaan dan partisipasi yang lebih tinggi lagi. Bahkan, boleh dikatakan bahwa akuntabilitas baru sebagai titik awal menuju keberlangsungan manajemen sekolah yang berkinerja tinggi.


D. MANFAAT AKUNTABILITAS PENDIDIKAN

Mampu membatasi ruang gerak terjadinya perubahan dan pengulangan, dan revisi perencanaan. Sebagai alat kontrol, akuntabilitas memberikan kepastian pada aspek aspek penting perencanaan, antara lain:


Tujuan/performan yang ingin dicapai

  • Program atau tugas yang harus dikerjakan untuk mencapai tujuan
  • Cara atau performan pelaksanaan dalam mengerjakan tugas
  • Alat dan metode yang sudah jelas, dana yang dipakai, dan lama bekerja yang semuanya telah tertuang dalam bentuk alternatife penyelesaikan yang sudah eksak/pasti
  • Lingkungan sekolah tempat program dilaksanakan
  • Insentif terhadap pelaksana sudah ditentukan secara pasti.


E. PELAKSANA AKUNTABILITAS PENDIDIKAN

Made Pidarta (1988) menyebutkan bahwa pelaksanaan akuntabilitas ditekankan pada guru, administrator, orang tua siswa, masyarakat serta orang-orang luar lainnya.Di dalam perencanaan participatory, yaitu perencanaan yang menekankan sifat lokal atau desentralisasi, akuntabilitas ditujukan pada sejumlah personil sebagai berikut:

  • Manajer/ administrator/ ketua lembaga, sesuai dengan fungsinya sebagai manajer.
  • Ketua perencana, yang dianggap paling bertanggungjawab atas keberhasilan perencanaan. Ketua perencana adalah dekan, rektor, kepala sekolah, atau pimpinan unit kerja lainnya.
  • Para anggota perencana, mereka dituntut memiliki akuntabilitas karena mereka bekerja mewujudkan konsep perencanaan dan mengendalikan implementasinya di lapangan.
  • Konsultan, para ahli perencana yang menjadi konsultan.
  • Para pemberi data, harus memiliki performan yang kuat mengingat tugasnya memberikan dan menginformasikan data yang selalu siap dan akurat. (pidarta, 1998)

Penerapan prinsip akuntabilitas dalam penyelenggaraan manejemen sekolah mendapat relevansi ketika pemerintah menerapkan otonomi pendidikan yang ditandai dengan pemberian kewenangan kepada sekolah untuk melaksanakan manajemen sesuai dengan kekhasan dan kebolehan sekolah. Dengan pelimpahan kewenangan tersebut, maka pengelolan manajemen sekolah semakin dekat dengan masyarakat adalah pemberi mandat pendidikan. Oleh karena manajemen sekolah semakin dekat dengan masyarakat, maka penerapan akuntabilitas dalam pengelolaan merupakan hal yang tidak dapat ditunda-tunda.

Isu akuntabilitas akhir-akhir ini semakin banyak dibicarakan seiring dengan adanya tuntutan masyarakat akan pendidikan yang bermutu. Bagi lembaga-lembaga pendidikan hal ini mulai disadari dan disikapi dengan melakukan desain ulang sistem yang mampu menjawab tuntutan masyarakat. Caranya adalah mengembangkan model manajemen pendidikan yang akuntabel.

Akuntabilitas pendidikan juga mensyaratkan adanya manajemen yang tinggi. Misalnya di Indonesia hari ini telah lahir Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang bertumpu pada sekolah dan masyarakat. Akuntabilitas tidak datang dengan sendiri setelah lembaga-lembaga pendidikan melaksanakan usaha-usahanya. Ada tiga hal yang memiliki kaitan, yaitu kompetensi, akreditasi dan akuntabilitas. Lulusan pendidikan yang dianggap telah memenuhi semua persyaratan dan memiliki kompetensi yang dituntut berhak mendapat sertifikat. Lembaga pendidikan beserta perangkat-perangkatnya yang dinilai mampu menjamin produk yang bermutu disebut sebagai lembaga terakreditasi (accredited).

Lembaga pendidikan yang terakreditasi dan dinilai mampu untuk menghasilkan lulusan bermutu, selalu berusaha menjaga dan menjamin mutuya sehingga dihargai oleh masyarakat adalah lembaga pendidikan yang akuntabel. Akuntabilitas menyangkut dua dimensi, yakni akuntabilitas vertikal dan akuntabilitas horisontal. Akuntabilitas vertikal menyangkut hubungan antara pengelola sekolah dengan masyarakat, sekolah dan orang tua siswa, sekolah dan instansi di atasnya (Dinas pendidikan). Sedangkan akuntabilitas horisontal menyangkut hubungan antara sesama warga sekolah, antara kepala sekolah dengan komite, dan antara kepala sekolah dengan guru.

Komponen pertama yang harus melaksanakan akuntabilitas adalah guru. Hal ini karena inti dari seluruh pelaksanaan manajemen sekolah adalah proses belajar mengajar. Dan pihak pertama di mana guru harus bertanggung jawab adalah siswa. Guru harus dapat melaksanakan ini dalam tugasnya sebagai pengajar. Akuntabilitas dalam pengajaran dilihat dari tanggung jawab guru dalam hal membuat persiapan, melaksanakan pengajaran, dan mengevaluasi siswa. Selain itu dalam hal keteladan, seperti disiplin, kejujuran, hubungan dengan siswa menjadi penting untuk diperhatikan. Tanggung jawab guru selain kepada siswa juga kepada orang tua siswa.

Akuntabilitas tidak saja menyangkut proses pembelajaran, tetapi juga menyangkut pengelolaan keuangan, dan kualitas output. Akuntabilitas keuangan dapat diukur dari semakin kecilnya penyimpangan dalam pengelolaan keuangan sekolah. Baik sumber-sumber penerimaan, besar kecilnya penerimaan, maupun peruntukkannya dapat dipertanggungjawabkan oleh pengelola. Pengelola keuangan yang bertanggung jawab akan mendapat kepercayaan dari warga sekolah dan masyarakat. Sebaliknya pengelola yang melakukan praktek korupsi tidak akan dipercaya. Akuntabilitas tidak saja menyangkut sistem tetapi juga menyangkut moral individu. Jadi, moral individu yang baik dan didukung oleh sistem yang baik akan menjamin pengelolaan keuangan yang bersih, dan jauh dari praktek korupsi. 

Akuntabilitas juga semakin memiliki arti, ketika sekolah mampu mempertanggungjawabkan mutu outputnya terhadap publik. Sekolah yang mampu mempertanggungjawabkan kualitas outputnya terhadap publik, mencerminkan sekolah yang memiliki tingkat efektivitas output tinggi. Dan sekolah yang memiliki tingkat efektivitas outputnya tinggi, akan meningkatkan efisiensi eksternal. Bagaimana sekolah mampu mempertanggungjawabkan kewenangan yang diberikan kepada publik, tentu menjadi tantangan tanggung jawab sekolah.

Fasli Jalal dan Dedi Supriadi (2001:88) menyatakan di Indonesia banyak instituasi pendidikan yang lemah dan tidak akuntabel. Rita Headington berpendapat ada tiga dimensi yang terkandung dalam akuntabilitas, yaitu moral, hukum, dan keuangan. Ketiganya menuntut tanggung jawab dari sekolah untuk mewujudkannya, tidak saja bagi publik tetapi pertama-tama harus dimulai bagi warga sekolah itu sendiri, misalnya akuntabilitas dari guru. Secara moral maupun secara formal (aturan) guru memiliki tanggung jawab bagi siswa maupun orang tua siswa untuk mewujudkan proses pembelajaran yang baik. Tidak saja guru tetapi juga badan-badan yang terkait dengan pendidikan. (suyanto, 2005)


 F. Kesimpulan

Sebagaimana yang diungkapkan Daoed Joesoef tentang pentingnya pendidikan: Pendidikan merupakan segala bidang penghidupan, dalam memilih dan membina hidup yang baik, yang sesuai dengan martabat manusia Dan tentulah dari pernyataan tersebut kita bisa mengambil kesimpulan bahwa Pendidikan merupakan hal yang sangat penting dan tidak bisa lepas dari kehidupan.

Akuntabilitas adalah suatu keadaan performan para petugas yang mampu bekerja dan dapat memberikan hasil kerja sesuai dengan criteria yang telah di tentukan bersama sehingga memberikan rasa puas pihak lain yang berkepentingan. Sedangkan akuntabilitas pendidikan adalah kemampuan sekolah mempertanggungjawabkan kepada publik segala sesuatu mengenai kinerja yang telah dilaksanakan.

Tujuan akuntabilitas pendidikan adalah agar terciptanya kepercayaan publik terhadap sekolah. Kepercayaan publik yang tinggi akan sekolah dapat mendorong partisipasi yang lebih tinggi pula terdapat pengelolaan manajemen sekolah.

Manfaat mampu membatasi ruang gerak terjadinya perubahan dan pengulangan, dan revisi perencanaan. Sebagai alat kontrol, akuntabilitas memberikan kepastian pada aspek aspek penting perencanaan

Made Pidarta (1988) menyebutkan bahwa pelaksanaan akuntabilitas ditekankan pada guru, administrator, orang tua siswa, masyarakat serta orang-orang luar lainnya.

Penerapan prinsip akuntabilitas dalam penyelenggaraan manejemen sekolah mendapat relevansi ketika pemerintah menerapkan otonomi pendidikan yang ditandai dengan pemberian kewenangan kepada sekolah untuk melaksanakan manajemen sesuai dengan kekhasan dan kebolehan sekolah.


G. Sumber; 

pidarta, M. M. (1998). Asas asas pendidikan islam . Jakarta : Pustaka al husna.

Supriadi, F. j. (2001). Ilmu pendidikan . Jakarta : Depdiknas bapenas adicitrakayanursa.

suyanto, S. (2005). Manajemen pendidikan . Yogyakarta : Rosda karya .

Syahrudin. (2003). Sistem akuntabilitas kerja . Jakarta : PT Bina Aksara .

Share:

Monday, May 9, 2022

PENDIDIAKAN DAN KESETARAAN GENDER: ISU-ISU KESENJANGAN GENDER, FAKTOR PENYEBAB KETIDAK ADILAN GENDER DAN UPAYA PENANGGULANGAN DAMPAK NEGATIF DARI BIAS GENDER DALAM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

Pixabay.com


Salah satu tuntutan terhadap dunia pendidikan saat ini adalah keadilan dan kesetaraan gender, baik pada aspek akses, mutu dan relevansi maupun pada aspek manajemen pendidikan. Pengembangan model pembelajaran responsif gender pada Madrasah Ibtidaiyah merupakan salah satu upaya untuk memutus mata rantai budaya bias gender sejak dini. Merekayasa pembelajaran menjadi responsif gender dapat dilakukan melalui dua aspek yaitu materi ajar dan proses belajar mengajar. Pengembangan pada materi pelajaran dilakukan dengan menganalisis setiap pesan terdapat dalam materi pelajaran yang akan disampaikan, apakah telah memenuhi kebutuhan belajar siswa secara adil gender. Sedangkan pengembangan pada proses kegiatan belajar mengajar dilakukan sejak merancang desain model pembelajaran sampai pada proses implementasi pembelajaran di kelas dan dikemas sedemikian rupa sehingga keterterapan parameter keadilan dan kesetaraan gender dapat dilihat dari aspek akses, partisipasi, kontrol, dan penerimaan manfaat dalam setiap komponen desain pembelajaran.

Dalam proses pendidikan di Indonesia secara umum, masih terdapat bias atau ketimpangan gender. Gender adalah sebuah konsep yang dijadikan parameter dalam pengidentifikasian peran laki-laki dan perempuan yang didasarkan pada pengaruh sosial budaya masyarakat social contruction dengan tidak melihat jenis biologis secara equality dan menjadikannya sebagai alat pendiskriminasian salah satu pihak karena pertimbangan yang sifatnya biologis. Kaum laki-laki lebih dominan dalam memilih jurusan dan mempelajari kemampuan atau keterampilan pada bidang kejuruan teknologi dan industri dan seolah-olah secara khusus kaum laki-laki dipersiapkan untuk menjadi pemain utama dalam dunia produksi. Sementara itu, perempuan lebih dipersiapkan untuk melaksanakan peran pembantu, misalnya ketatausahaan dan teknologi kerumah-tanggaan. Perbaikan dalam sistem kurikulum yang menjamin terwujudnya content pendidikan yang berperspektif gender, dalam mengkombinasi-kan antara hak dan kewajiban laki-laki dan perempuan. Fakta menunjukkan bahwa ketimpangan gender dalam relasi laki-laki dan perempuan masih sering terjadi. Ketimpangan gender merupakan masalah sosial yang harus diselesaikan secara integratif holistik dengan menganalisis berbagai faktor dan indikator penyebab yang ikut aktif melestarikannya, termasuk faktor hukum dan pendidikan yang kerapkali mendapat justifikasi agama. Kesenjangan pada bidang pendidikan telah menjadi faktor utama yang sangat berpengaruh terhadap bidang lain di Indonesia, hampir semua sektor, seperti lapangan pekerjaan, jabatan, peran dimasyarakat, sampai pada masalah menyuarakan pendapat antara laki-laki dan perempuan yang menjadi faktor penyebab bias gender adalah karena faktor kesenjangan pendidikan yang belum setara selain masalah-masalah klasik yang cenderung menjustifikasi ketidakadilan seperti interpensi teks-teks keagamaan yang tekstual dan kendala sosial budaya lainnya. 

Adanya berbagai hasil penelitian yang menunjukkan terjadinya bias gender pada berbagai dimensi pendidikan sekolah, seperti pada materi pembelajaran, dan ini diyakini dapat melestarikan ideologi gender yang timpang. Pendidikan pada tingkat usia sekolah dasar (MI) merupakan waktu yang paling tepat untuk membentuk karakter manusia. (character building), sehingga lembaga pendidikan dasar (MI) dipilih menjadi sasaran kegiatan ini. Karena lembaga pendidikan dasar (MI) memiliki peran penting dalam penanaman nilai-nilai terhadap diri siswa, termasuk tentang keadilan dan kesetaraan gender. Nilai-nilai tersebut ditransfer dan ditumbuhkembangkan melalui proses pembelajaran. Proses pembelajaran yang efektif untuk mentransfer dan menumbuhkembangkan nilai-nilai keadilan dan kesetaraan gender harus didukung oleh komponen-komponen seperti; kebijakan pendidikan, kompetensi guru, kurikulum (tujuan pembelajaran. bahan ajar, metode/strategi pembelajaran, evaluasi) serta fasilitas dan media pendidikan lainnya.


A. Pengertian Pendidikan dan Gender

1. Pengertian Pendidikan

Pendidikan adalah pembelajaran pengetahuan, keterampilan, dan kebiasaan sekelompok orang yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui pengajaran, pelatihan, atau penelitian. Pendidikan sering terjadi di bawah bimbingan orang lain, tetapi juga memungkinkan secara otodidak. Etimologi kata pendidikan itu sendiri berasal dari bahasa Latin yaitu ducare, berarti menuntun, mengarahkan, atau memimpin dan awalan e, berarti keluar. Jadi, pendidikan berarti kegiatan menuntun ke luar. (insan, 2021)

Sedangkan menurut para ahli Pendidikan adalah..

  • Ki Hajar Dewantara. (Bapak Pendidikan Nasional Indonesia) : Pendidikan yaitu tuntutan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak, adapun maksudnya, pendidikan yaitu menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya.
  • Plato. Menurut Plato, pendidikan adalah sesuatu yang dapat membantu perkembangan individu dari jasmani dan akal dengan sesuatu yang dapat memungkinkan tercapainya sebuah kesempurnaan. Menurut Plato pendidikan direncanakan dan di program menjadi tiga tahap dengan tingkat usia, tahap pertama adalah pendidikan yang diberikan kepada murid hingga sampai dua puluh tahun; dan tahap kedua, dari usia dua puluh tahun sampai tiga puluh tahun; sedangkan tahap ketiga, dari tiga puluh tahun sampai usia empat puluh tahun.
  • Edgar Dalle. Pengertian pendidikan adalah usaha sadar yang dilakukan oleh keluarga, masyarakat, dan pemerintah melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan latihan, yang berlangsung di sekolah dan di luar sekolah sepanjang hayat untuk mempersiapkan peserta didik agar dapat mempermainkan peranan dalam berbagai lingkungan hidup secara tetap untuk masa yang akan datang.
  • H. Horne. Menurut Horne, pendidikan adalah proses yang terus menerus (abadi) dari penyesuaian yang lebih tinggi bagi makhluk manusia yang telah berkembang secara fisik dan mental, yang bebas dan sadar kepada tuhan, seperti ter manifestasi dalam alam sekitar intelektual, emosional dan kemanusiaan dari manusia.
  • Dan Menurut UU No. 20 tahun 2003 Pendidikan adalah usaha sadar dan ter-rencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan Negara.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pengertian pendidikan adalah pemberian pemahaman, bimbingan dari seorang dewasa kepada murid untuk mendapatkan kedewasaan dalam melaksanakan peranannya dalam kehidupan secara mandiri dan tidak bergantung pada orang lain.

2. Pengertian  Gender

Kata gender berasal dari bahasa Inggris yang berarti jenis kelamin. Dalam Ensiklopedia Feminisme gender diartikan sebagai kelompok atribut dan perilaku yang dibentuk secara kultural yang ada pada laki-laki atau perempuan. Perbedaan gender antara manusia laki-laki dan perempuan telah terjadi melalui proses panjang. 

Mufidah dalam Paradigma Gender (Ch.2003)mengungkapkan bahwa pembentukan gender ditentukan oleh sejumlah faktor yang ikut membentuk, kemudian disosialisasikan, diperkuat, bahkan dikonstruksi melalui sosial atau kultural, dilanggengkan oleh interpretasi agama dan mitos-mitos seolah-olah telah menjadi kodrat laki-laki dan perempuan. Pembedaan laki-laki dan perempuan sesungguhnya tidak menjadi masalah. Pembedaan tersebut menjadi bermasalah ketika menghasilkan ketidakadilan terhadap jenis kelamin tertentu. Ivan Illich mendefinisikan gender dengan pembeda-bedaan tempat, waktu, alat-alat, tugastugas, bentuk pembicaraan, tingkah laku dan persepsi yang dikaitkan dengan perempuan dalam budaya sosial.

Gender merupakan analisis yang digunakan dalam menempatkan posisi setara antara laki-laki dan perempuan untuk mewujudkan tatanan masyarakat sosial yang lebih egaliter. Jadi, gender bisa dikategorikan sebagai perangkat operasional dalam melakukan measure (pengukuran) terhadap persoalan laki-laki dan perempuan terutama yang terkait dengan pembagian peran dalam masyarakat yang dikonstruksi oleh masyarakat itu sendiri. Gender bukan hanya ditujukan kepada perempuan semata, tetapi juga kepada laki-laki. Hanya saja, yang dianggap mengalami posisi termarginalkan sekarang adalah pihak perempuan, maka perempuanlah yang lebih ditonjolkan dalam pembahasan untuk mengejar kesetaraan gender yang telah diraih oleh laki-laki beberapa tingkat dalam peran sosial, terutama di bidang pendidikan karena bidang inilah diharapkan dapat mendorong perubahan kerangka berpikir, bertindak, dan berperan dalam berbagai segmen kehidupan sosial.

Masalah gender dalam masyarakat patriarkal telah menempatkan perempuan sebagai objek yang selalu dikendalikan sehingga menimbulkan reaksi dari kelompok perempuan di seluruh dunia. Menurut Mosse.mereka menuntut seksualitas sebagai sebuah wilayah yang memberikan kesempatan pada perempuan untuk dapat menolak penindasan atas dirinya. Mereka menyoroti masalah pemahaman tentang seksualitas perempuan yang telah diterima, yang mengaitkan subordinasi ekonomi dan sosial perempuan dengan subordinasi seksualnya. 

Heddy Shri Ahimsa Putra menegaskan bahwa istilah gender dapat dibedakan ke dalam beberapa pengertian berikut ini. 

  1. Gender sebagai istilah asing dengan makna tertentu Sering orang berpandangan bahwa perbedaan gender disamakan dengan perbedaan seks sehingga menimbulkan pengertian yang keliru. 
  2. Gender sebagai Fenomena Sosial Budaya Perbedaan seks adalah alami dan kodrati dengan ciri-ciri fisik yang jelas, tidak dapat dipertukarkan. Penghapusan diskriminasi gender tanpa mengindahkan perbedaan seks yang ada sama halnya dengan mengingkari suatu kenyataan yang jelas. Sebagai fenomena sosial, gender bersifat relatif dan kontekstual. Gender yang dikenal orang Minang, berbeda dengan gender dalam masyarakat Bali, dan berbeda juga dengan gender.bagi masyarakat Jawa.

Hal itu diakibatkan, oleh konstruksi sosial budaya yang membedakan peran atas dasar jenis kelaminnya. 

  1. Gender sebagai Suatu Kesadaran sosial Pemahaman gender dalam wacana akademik perlu diperhatikan pemaknaannya sebagai suatu kesadaran sosial. 
  2. Gender sebagai Suatu Persoalan Sosial Budaya Fenomena pembedaan laki-laki dan perempuan sesungguhnya bukan menjadi masalah bagi mayoritas orang. Pembedaan tersebut menjadi bermasalah ketika menghasilkan ketidakadilan, di mana jenis kelamin tertentu memperoleh kedudukan yang lebih unggul dari jenis kelamin lainnya. 
  3. Gender sebagai sebuah Konsep untuk Analisis Gender sebagai sebuah konsep untuk analisis merupakan gender yang digunakan oleh seorang ilmuwan dalam mempelajari gender sebagai fenomena sosial budaya. 
  4. Gender sebagai Sebuah Perspektif untuk memandang suatu Kenyataan. Seorang peneliti menggunakan ideologi gender untuk mengungkap pembagian peran atas dasar jenis kelamin serta implikasi-implikasi sosial budayanya, termasuk ketidakadilan yang ditimbulkannya. Dalam hal ini, peneliti dituntut untuk memiliki sensitivitas gender dengan baik. 

Masalah gender juga menyentuh bidang sastra dan memunculkan sebuah bentuk kajian yang disebut kritik sastra feminis. Kritik sastra feminis seperti yang disampaikan Tinneke Hellwig (Hellwig, 2003)merupakan salah satu komponen dalam bidang kajian perempuan, yang di Barat dimulai sebagai suatu gerakan sosial pada masyarakat akar rumput karena studi perempuan dianggap sebagai suatu bagian dari agenda politik feminis. Bagi kritikus sastra feminis, semua interpretasi bersifat politis. Oleh karena itu, pada masa sekarang, pengkajian perempuan dan sastra terlebih Penjelasan lebih jauh mengenai proses kerja yang dilakukan dalam kritik sastra feminis disampaikan Jane Moore (Mosse, 2003)sebagai sebuah kerja berkesinambungan. Kritikus feminis meneliti bagaimana kaum perempuan ditampilkan dan bagaimana suatu teks membahas relasi gender dan perbedaan jenis kelamin. Dari perspektif feminis, sastra tidak boleh diisolasi dari konteks atau kebudayaan karena karya sastra menjadi salah satu bagian dari konteks atau kebudayaan tersebut. Suatu teks sastra mengajak para pembacanya untuk memahami makna menjadi perempuan atau laki-laki, kemudian mendorong mereka untuk menyetujui atau menentang norma-norma budaya yang berlaku di masyarakat. Jadi, jelaslah bahwa pekerjaan mengkritik teks sastra dengan sudut pandang feminisme membutuhkan penilaian kritikus pada aspek-aspek lain di luar teks. 

Mengenai hal itu, Murniati (Murniati, 2004) dalam Getar Gender menyebutkan bahwa kebudayaan menjadi faktor dominan ketika sebuah ideologi dioperasionalisasikan dalam kehidupan manusia. Jika agama dipakai sebagai alasan, maka kebudayaan adalah mesin penggerak, bagaimana ideologi gender meresap dan masuk ke tulang sumsum seluruh anggota masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan. Masalah diskriminasi gender hingga saat ini masih menjadi wacana yang diusung kaum feminis, termasuk feminis di Indonesia. Sejumlah penelitian terhadap masalah itu sudah banyak dilakukan. Saat ini, penulisan fiksi di Indonesia yang mengangkat masalah feminisme salah satunya dilakukan dengan cara mengkritik diskriminsi gender dan kritik sastra mengenai masalah itu banyak dijumpai. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa masalah perempuan tidak hanya menjadi bagian kepedulian para ahli ilmu sosial, tetapi para sastrawan dan kritikus sastra pun memiliki kepedulian akan hal itu.


B. Isu-Isu Kesenjangan Gender dalam Dunia Pendidikan 

Berbagai bentuk kesenjangan gender yang terjadi dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat, terpresentasi juga dalam duniapendidikan. Bahkan proses dan institusi pendidikan dipandang berperan besar dalam mensosialisasikan dan melestrikan nilai-nilai dan cara pandang yang mendasari munculnya berbagai ketimpangan gender dalam masyarakat. Secara garis besar, fenomena kesenjangan gender dalam pendidikan dapat diklasifikasi dalam beberapa dimensi, antara lain: 

  1. Kurangnya partisipasi (under-participation) Dalam hal partisipasi pendidikan, perempuan di seluruh dunia menghadapi problem yang sama. Dibanding lawanjenisnya, partisipasi perempuan dalam pendidikan formal jauh lebih rendah Di negara-negara dunia   di mana pendidikan dasar belum diwajibkan, jumlah murid perempuan umumnya hanya separuh atau sepertiga jumlah murid laki-laki (Amasari, 2005)
  2. Kurangnya keterwakilan (under-representarion) Partisipasi perempuan dalam pendidikan sebagai tenaga pengajar maupun pimpinan juga menunjukkan kecenderung disparitas progresif. Jumlah guru perempuan pada jenjang pendidikan dasar umumnya sama atau melebihi jumlah guru laki-laki. Namun, pada jenjang pendidikan lanjutan dan pendidikan tinggi, jumlah tersebut menunjukkan penurunan drastis. 
  3. Perlakuan yang tidak adil (unfair treatment) Kegiatan pembelajaran dan proses interaksi dalam kelas seringkali bersifat merugikan murid perempuan. Guru secara tidak sadar cenderung menaruh harapan dan perhatian yang lebih besar kepada murid laki-laki dibanding murid perempuan. Para guru kadang kala cenderung berpikir ke arah "self fulfilling prophecy" terhadap siswa perempuan karena menganggap perempuan tidak perlu memperoleh pendidikan yang tinggi. 

Hasil penelitian tersebut di atas memberikan gambaran bahwa bias gender dalam bidang pendidikan masih sangat timpang terutama pada tingkat pendidikan sarjana, karena dalam kenyataan empirik membuktikan bahwa semakin tinggi pendidikan seorang maka tingkat pendapat juga akan itu berpengaruh. Kondisi ini dirasakan oleh perempuan memiliki tingkat pendidikan yang masih rendahdi bandingkan dengan laki-laki. 

Kesenjangan gender juga dapat dilihat dari angka partisipasi pendidikan, berdasarkan kelompok usia maupun jenjang pendidikan. Berdasarkan angka statistik pendidikan tahun 2001,angka partisipasi murni (APM) sekolah dasar (SD) sebesar 96,64% untuk laki-laki, dan sedikit lebih kecil untuk perempuan yaitu sebesar 94,34%. Sedangkan untuk APM tingkat sekolah lanjutan tingkatpertama (SLTP) sudah mengalami kesetaraan gender, meskipun dalam angka yang masih sama-sama menunjukkan hasil rendah yaitu 56,62% laki dan 56,30% perempuan. Angka partisipasi murni(APM) untuk sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA) lebih rendah dan untuk perempuan masih lebihrendah lagi, yaitu 34,06% laki-laki dan 31,14% untuk perempuan (Idris, 2001)

Di samping hasil penelitian tersebut di atas dalam bidang pendidikan terjadi ketimpangan antara perempuan dan laki-laki, juga bias gender termasuk di bidang hukum. Bidang hukum jugasangat signifikan berpengaruh dalam pengambilan keputusan dan lagi-lagi bias gender sangat dirasakan oleh kaum perempuan. Menurut Musda ada tiga aspek ketimpangan gender dalam bidang hukum yaitu pada materi hukum (content of law), budaya hukum (culture of law), dan struktur hukumnya (structure of law). Faktor Penyebab Bias Gender dalam Pendidikan Islam Faktor-faktor penyebab bias gender dapat dikategorisasikan ke dalam tiga aspek, yaitu partisipasi, akses, dan kontrol. Namun, tidak semua aspek yang disebutkan dapat dipaksakan untukmenjelaskan masing-masing bias gender yang terjadi secara empiris dalam bidang pendidikan.Dengan kata lain faktor-faktor penyebab bias gender akan sangat tergantung dari situasinya masingmasing. 

Adapun faktor yang menjadi penyebab bias gender berkaitan dengan perolehan kesempatan belajar pada setiap jenjang pendidikan dasar adalah : Perbedaan angkatan partisipasi pendidikan pada tingkat SD/Madrasah Ibtidaiyah sudah mencapai titik optimal yang tidak mungkin diatasi hanya dengan kebijakan pendidikan, sehingga perbedaan itu menjadi semakin sulit ditekan ke titik yang lebih rendah lagi. Kesenjangan ini lebih dipengaruhi oleh faktor-faktor struktur karena fasilitas pendidikan SD sudah tersebar relatif merata. Faktor-faktor struktural itu di antaranya adalah nilai-nilai sosial budaya, dan ekonomi keluarga yang lebih menganggap pendidikan untuk anak laki-laki lebih penting dibandingkan dengan perempuan. Faktor ini berlaku terutama di daerah-daerah terpencil yang jarang penduduknya serta pada keluarga-keluarga berpendidikan rendah yang mendahulukan pendidikan untuk anak lakilaki(Gonibala, 2007))

Faktor-faktor yang mempengaruhi penyebab bias gender dalam bidang kurangnya kontrol kebijakan pendidikan adalah:

  1. Faktor kesenjangan antar gender dalam bidang pendidikan jauh lebih dominan laki-laki. Khususnya dalam lembaga birokrasi di lingkungan pendidikan sebagai pemegang kekuasaan atau kebijaksanaan, maupun dalam jabatan-jabatan akademis kependidikan sebagai pemegang kendali pemikiran yang banyak mempengaruhi kebijakan pendidikan. Keadaan ini akan semakin bertambah parah jika para pemikir atau pemegang kebijaksanaan pendidikan tersebut tidak memiliki sensitivitas gender. 
  2. Khusus pada kebijaksanaan pendidikan, khususnya menyangkut sistem seleksi dalam pendidikan. Kontrol dalam penerimaan karyawan terutama di sektor swasta sangat dirasakan bias gender. Kenyataan menunjukkan bahwa jika suami istri berada dalam salah satu perusahaan, misalnya Bank, baik milik pemerintah maupun swasta, maka salah satunya harus memilih untuk keluar, danbiasanya perempuanlah yang memilih keluar dari pekerjaan. Ini bagian dari faktor-faktor bias gender dalam bidang pendidikan.
  3. Faktor struktural, yakni yang menyangkut nilai, sikap, pandangan, dan perilaku masyarakat yang secara dominan mempengaruhi keputusan keluarga untuk memilih jurusan-jurusan yang lebih dianggap cocok untuk perempuan, seperti pekerjaan perawat, kesehatan, teknologi kerumahtanggaan, psikologi, guru sekolah dan sejenisnya. Hal ini terjadi karena perempuan dianggapnya memilih fungsi-fungsi produksi (reproductive function). Laki-laki dianggap lebih berperan sebagai fungsi penopang ekonomi keluarga (productive function) sehingga harus lebih banyakmemilih keahlian-keahlian ilmu teknologi dan industri. 
  4. Pendidikan Islam yang konstruktif merupakan salah satu pendekatan pendidikan melalui pembelajaran induktif, yang berarti mengangkat nilai-nilai faktual empirik. Pendidikan reseptif yang hanya memperkuat hapalan, apabila hapalan itu hilang maka subyek didik tidak akan punya apa-apa lagi, maka diperlukan pendidikan yang demokratis yaitu peserta didik diberikan kesempatan untuk mengeluarkan pendapat, menyampaikan opini, dan mengeskpresikankemampuan nalar, maka akan melahirkan komunitas intelektual yang cendekiawan. 
  5. Faktor lain yang turut mempengaruhi bias gender dalam pendidikan adalah muncul persaingan dengan teknologi, yang menggantikan peranan pekerja perempuan dengan mesin. Dampaknya, lagi-lagi perempuan menjadi korban teknologi khususnya perempuan yang memiliki tingkat pendidikan rendah ditambah pula dengan kemampuan ekonomi yang masih lemah.

 

C. Bentuk-Bentuk Ketidakadilan Gender 

1. Marginalisasi proses peminggiran akibat perbedaan jenis kelamin yang mengakibatkan kemiskinan 

  • Kerja domestik tidak dihargai setara dengan pekerjaan publik. 
  • Perempuan sering tidak mempunyai akses terhadap sumber daya ekonomi, waktu luang dan pengambilan keputusan . 
  • Perempuan kurang didorong atau memiliki kebebasan kultural untuk memilih karir daripada rumah tangga atau akan mendapat sanksi sosial. 
  • Perempuan sering mendapat upah yang lebih kecil dibanding lelaki untuk jenis pekerjaan yang setara 
  • Perempuan sering menjadi korban pertama jika terjadi PHK 
  • Izin usaha perempuan harus diketahui ayah (jika masih lajang & suami jika sudah menikah, permohonan kredit harus seizin suami 
  • Pembatasan kesempatan di bidang pekerjaan tertentu terhadap perempuan 
  • Ada beberapa pasal hukum dan tradisi yang memperlakukan perempuan tidak setara dengan laki-laki : harta waris, gono-gini, dst. 
  • Kemajuan teknologi sering meminggirkan peran serta perempuan. 

2. Sub-Ordinasi atau penomorduaan 

  • Masih sedikit perempuan yang berperan dalam level pengambil keputusan dalam organisasi / pekerjaan 
  • Perempuan yang tidak menikah atau tidak punya anak dianggap lebih rendah secara sosial sehingga ada alasan untuk poligami. 
  • Perempuan dibayar sebagai pekerja lajang atau bahkan dikeluarkan karena alasan menikah atau hamil, 
  • Ada aturan pajak penghasilan perempuan lebih tinggi dari laki-laki karena perempuan dianggap lajang. 
  • Beberapa pasal hukum tidak menganggap perempuan setara dengan laki-laki misalnya : pendirian izin usaha, pengelolaan harta (suami wajib mengemudikan harta pribadi isteri) Dalam materi pendidikan agama Islaam tentang hukum waris masih menjdi sebuah fenomena.

3. Stereotipe (Pelabelan Negatif) 

  • Perempuan : sumur - dapur  kasur - macak - masak  manak : sekedar ibu rumah tangga dan dianggap sebagai pengangguran, kalaupun bekerja dianggap sebagai perpanjangan peran domestik : guru TK, sekretaris, bagian penjualan, dst. 
  • Perempuan emosional, tidak rasional dan tidak mandiri sehingga tidak berhak pada fungsi perwakilan dan pemimpin. 
  • Perempuan tidak mampu mengendalikan syahwat jika diberi kekebasan : tradisi sunat perempuan, perda tentang larangan keluar malam bagi perempuan, janda dianggap sebagai berpotensi mengganggu rumah tangga orang. 
  • Pria adalah tulang punggung keluarga dan pencari nafkah tidak peduli seperti apapun kondisinya, jika gagal dicap sbg tidak bertanggungjawab. 
  • Pria adalah Kehebatannya dilekatkan pada kemampuan seksual dan karirnya, menganggap wajar jika laki-laki menggoda perempuan, selingkuh, poligami. 

4. Beban Ganda (Double Burden) 

  • Beban pekerjaan di rumah tidak berkurang dengan adanya peran publik dan peran pengelolaan komunitas (walaupun perempuan telah masuk dalam peran publik/meniti karier peran dalam rumah tangga masih besar). 
  • Pekerjaan dalam rumah tangga, sebagian besar dikerjakan ibu dan anak perempuan sedangkan ayah dan anak lelaki terbebas dari pekerjaan domestik. 
  • Perempuan sebagai perawat, pendidik anak, pendamping suami, juga pencari nafkah tambahan, 
  • Perempuan pencari nafkah utama masih harus mengerjakan tugas domestik, 
  • Lelaki meski bekerja sebagai mencari nafkah, tetap harus terlibat dalam peran sosial kemasyarakatan, karena tidak dapat diwakili oleh perempuan. 

5. Violence atau Kekerasan Terhadap Perempuan baik Fisik & Non Fisik 

  • Larangan untuk belajar atau mengembangkan karir 
  • Penggunaan istilah yang menyebut ciri fisik atau status sosial : bahenol, janda kembang, perawan tua, nenek lincah, dst, 
  • Tindakan yang diasosiasikan sebagai pernyataan hasrat seksual : kerdipan, suitan, rangkulan, green jokes, 
  • Pemaksaan atau sebaliknya pengabaian penggunaan kontrasepsi, 
  • Pencabulan, perkosaan, inses, 
  • Pembatasan atau pengabaian pemberian nafkah 
  • Penggunaan genitalitas perempuan sbg alat penaklukan baik pada masa damai ataupun perang, 
  • Perselingkuhan atau poligami tanpa izin isteri, 
  • Pemukulan atau penyiksaan fisik lain, 
  • Pengurungan di dalam rumah, 
  • Pemasungan hak-hak politik 
  • Pemaksaan perkawinan 
  • Pemaksaan pindah agama mengikuti agama pasangan, 
  • Perendahan martabat laki-laki dan perempuan semata- mata sebagai objek seks dalam iklan, 
  • Pria yang tidak macho atau maskulin atau gagal di bidang karir dianggap kurang laki-laki, dan akan dilecehkan dalam masyarakat. (Gafur, 2002)


6. Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Ketidakadilan Gender 

  • Nilai sosial dan budaya patriarkhi sama dengan pranata kehidupan yang berdasarkan pandangan laki-laki.
  • Produk dan peraturan perundang-undangan yang masih bias gender;
  • Pemahaman ajaran agama yang tidak komprehensif dan cenderung parsial;
  • Kelemahan kurang percaya diri, tekad & inkonsistensi kaum perempuan sendiri dlm memperjuangkan nasibnya;
  • Pemahaman para pemimpin dan pengambil keputusan terhadap makna Kesetaraan dan Keadilan Gender yang belum mendalam. 


7. Upaya Penanggulangan Dampak Negatif dari Bias Gender Pendidikan dalam Islam 

Adapun upaya untuk mengatasi bias gender dalam pendidikan Islam melalui upaya sebagai berikut : 

  • Reinterpretasi ayat-ayat al-Quran dan hadis yang bias gender, dilakukan secara kontinu agar ajaran agama tidak dijadikan justifikasi sebagai kambing hitam untuk memenuhi keinginan segelintir orang.
  • Muatan kurikulum nasional yang menghilangkan dikotomis antara laki-laki dan perempuan,demikian pula kurikulum lokal dengan berbasis kesetaraan, keadilan, dan keseimbangan.Kurikulum disusun sesuai dengan kebutuhan dan tipologi daerah, yang di mulai dari tingkatpendidikan taman kanak-kanak sampai ke tingkat perguruan tinggi.
  • Pemberdayaan kaum perempuan di sektor pendidikan informal seperti pemberian fasilitas belajarmulai di tingkat kelurahan sampai kepada tingkat kabupaten/kota dan disesuaikan dengankebutuhan daerah.
  • Pemberdayaan di sektor ekonomi untuk meningkatkan pendapatan keluarga terutama dalamkegiatan industri rumah tangga (home industri) dengan demikian perlahan-lahan akanmenghilangkan ketergantungan ekonomi kepada laki-laki. Karena salah satu terjadinyamarginalisasi pada perempuan adalah ketergantungan ekonomi keluarga kepada laki-laki.
  • Pendidikan politik bagi perempuan agar dilakukan secara intensif untuk menghilang melek politikbagi kaum perempuan. Karena masih ada anggapan bahwa politik itu hanya milik laki-laki, danpolitik itu adalah kekerasan, padahal sebaliknya politik adala seni untuk mencapai kekuasaan.Dengan demikian kuota 30% sesuai dengan amanah Undang-Undang segara terpenuhi, mengingatpemilih terbanyak adalah perempuan.
  • Pemberdayaan di sektor ketrampilan (skill) baik ketrampilan untuk kebutuhan rumah tangga,maupun yang memiliki nilai jual di tingkatkan terutama kaum perempuan di pedesaan agar terjadikeseimbangan antara perempuan yang tinggal di perkotaan dengan pedesaan sama-sama memilikiketrampilan yang relatif bagus.
  • Sosialisasi Undang-Undang Anti Kekerasan dalam Rumah tangga lebih intens dilakukan agarkaum perempuan mengetahui hak dan kewajiban yang harus dilakukan sesuai dengan amanah dari UUAK.


D. Kesimpulan

1. pengertian pendidikan adalah pemberian pemahaman, bimbingan dari seorang dewasa kepada murid untuk mendapatkan kedewasaan dalam melaksanakan peranannya dalam kehidupan secara mandiri dan tidak bergantung pada orang lain.

2. Gender merupakan analisis yang digunakan dalam menempatkan posisi setara antara laki-laki dan perempuan untuk mewujudkan tatanan masyarakat sosial yang lebih egaliter. Jadi, gender bisa dikategorikan sebagai perangkat operasional dalam melakukan measure (pengukuran) terhadap persoalan laki-laki dan perempuan terutama yang terkait dengan pembagian peran dalam masyarakat yang dikonstruksi oleh masyarakat itu sendiri.

3. Adapun faktor yang menjadi penyebab bias gender berkaitan dengan perolehan kesempatan belajar pada setiap jenjang pendidikan dasar adalah : Perbedaan angkatan partisipasi pendidikan pada tingkat SD/Madrasah Ibtidaiyah sudah mencapai titik optimal yang tidak mungkin diatasi hanya dengan kebijakan pendidikan, sehingga perbedaan itu menjadi semakin sulit ditekan ke titik yang lebih rendah lagi. Kesenjangan ini lebih dipengaruhi oleh faktor-faktor struktur karena fasilitas pendidikan SD sudah tersebar relatif merata. Faktor-faktor struktural itu di antaranya adalah nilai-nilai sosial budaya, dan ekonomi keluarga yang lebih menganggap pendidikan untuk anak laki-laki lebih penting dibandingkan dengan perempuan. Faktor ini berlaku terutama di daerah-daerah terpencil yang jarang penduduknya serta pada keluarga-keluarga berpendidikan rendah yang mendahulukan pendidikan untuk anak lakilaki

4. Bentuk-Bentuk Ketidakadilan Gender 

  • Marginalisasi proses peminggiran akibat perbedaan jenis kelamin yang mengakibatkan kemiskinan 
  • Kerja domestik tidak dihargai setara dengan pekerjaan publik. 
  • Perempuan sering tidak mempunyai akses terhadap sumber daya ekonomi, waktu luang dan pengambilan keputusan . 
  • Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Ketidakadilan Gender 
  • Nilai sosial dan budaya patriarkhi sama dengan pranata kehidupan yang berdasarkan pandangan laki-laki.
  • Produk dan peraturan perundang-undangan yang masih bias gender;
  • Pemahaman ajaran agama yang tidak komprehensif dan cenderung parsial;
  • Upaya Penanggulangan Dampak Negatif dari Bias Gender Pendidikan dalam Islam 
  • Reinterpretasi ayat-ayat al-Quran dan hadis yang bias gender, dilakukan secara kontinu agar ajaran agama tidak dijadikan justifikasi sebagai kambing hitam untuk memenuhi keinginan segelintir orang.
  • Muatan kurikulum nasional yang menghilangkan dikotomis antara laki-laki dan perempuan,demikian pula kurikulum lokal dengan berbasis kesetaraan, keadilan, dan keseimbangan.Kurikulum disusun sesuai dengan kebutuhan dan tipologi daerah, yang di mulai dari tingkatpendidikan taman kanak-kanak sampai ke tingkat perguruan tinggi.
  • Pemberdayaan kaum perempuan di sektor pendidikan informal seperti pemberian fasilitas belajarmulai di tingkat kelurahan sampai kepada tingkat kabupaten/kota dan disesuaikan dengankebutuhan daerah.


Sumber: 

Amasari. (2005). Penelitian Pendidikan Berujatuasan Gender. Banjarmasin: IAIN Antasari.

Ch., M. (2003). Paradigma Gender. Malang: Bayumedia Publishing.

Gafur, W. A. (2002). Gender dan Islam dalam teks dan Konteks,. Yogyakarta: PSW IAIN Sunan Kalijaga.

Gonibala, R. (2007). Fenomena Bias Gender Dalam Pendidikan Islam.

Hellwig, T. (2003). Citra Perempuan dalam Sastra Indonesia. Jakarta: Desantara.

Idris, A. S. (2001). Kesetaraan Gender dalam Bidang Pendidikan. Jakarta: Biro Pusat Statistik.

insan, B. (2021). Pengertian Pendidikan. Bina insan manndiri .

Mosse, J. C. (2003). Gender dan Pembangunan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Murniati, A. N. (2004). Getar Gender. Magelang: Indonesiatera.

Share:

Followers

BTemplates.com

Translate