Pixabay.com |
Kondisi menyedihkan akan terasa ketika kita melirik pada psoses dan kualitas pendidikan di daerah. Terutama daerahn tertinggal, di mana kualitas murid bahkan SDM yang ada jauh dari harapan. Mungkinkah tujuan pendidikan nasional dapat tercapai jika kondisi seperti ini terus berlangsung?
Pendidikan nasional sebagaimana yang tertuang dalam Undang-Undang Republik Indonesia tahun 2003 Bab II pasal 3 tentang Sistem Pendidikan Nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Tujuan ini mengharuskan adanya upaya untuk mewujudkannya dengan jalan menggali potensi-potensi diri yang dimiliki anak didik. Perlu disadari bahwa anak didik memiliki karakteristiknya sendiri-sendiri yang tidak pernah sama antara satu dengan lainnya, sehingga mengembangkan potensi anak didik berarti pula mengenali karakteristik anak secara keseluruhan.
Perubahan sistem pendidikan Indonesia terjadi pada saat masuk era reformasi, semua tatanan kehidupan politik dilakukan perubahan mendasar tanpa terkecuali. Demikian juga dengan kebijakan pendidikan nasional mengalami perubahan yang mendasar. Sistem pendidikan nasional mengalami perubahan dari centralisasi menjadi decentralisasi. Kebijakan otonami daerah juga mempengaruhi kebijakan pendidikan di daerah, Perubahan bidang pendidikan terjadi disana sini, mulai dari tujuan pendidikan, pelaksana/penanggung jawab pendidikan, kurikulum, materi pembelajaran dan seterusnya.
A. Latar Belakang Otonomi Pendidikan
Salah satu cita-cita nasional yang hanls terus diperjuangkan oleh bangsa Indonesia ialah upaya mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pendidikan nasional. Masa depan dan keunggulan bangsa ditentukan oleh keunggulan sumber daya manusia yang dimilikinya, disamping sumber daya alam dan modal. Sumber daya manusia yang tinggi diharapkan secara signifikan dapat menjadi subjek pembangunan untuk lebih berhasil mengelola sumber daya bagi kepentingan kesejahteraan masyarakat. Berbicara mengenai kualitas sumber daya manusia, pendidikan memegang peran yang sangat penting dalam proses peningkatan kualitas sumber daya manusia. Menyadari pentingnya proses peningkatan kualitas sumber daya manusia, maka pemerintah bersama kalangan swasta sama-sama telah dan terus berupaya mewujudkan amanat tersebut melalui berbagai usaha pembangullan pendidikan yang lebih berkualitas antara lain melalui perbaikan kurikulum dan sistem evaluasi, perbaikan sarana pendidikan, pengembangan dan pengadaan materi ajar, serta pelatihan bagi guru dan tenaga kependidikan (Umaedi,2001).
Tetapi pada kenyataannya upaya pemerintah tersebut belum cukup berarti dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Salah satu permasalahan pendidikan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia adalah rendahnya mutu pendidikan pada setiap jenjang dan satuan pendidikan, khususnya pendidikan dasar dan menengah.
Adapun yang menyebabkan rendahnya mutu pcndidikan disebabkan tiga faktor dimana mulu pendidikan tidak mengalami peningkatan secara merata yaitu:
Kebijakan dan penyelenggaraan pcndidikan nasional menggunakan pendekatan educational production function atau input-output analysis yang tidak dilaksanakan secara konsekuen. Pendekatan ini melihat bahwa lembaga pendidikan berfungsi sebagai pusat produksi yang apabila dipilih semua input (masukan) yang diperlukan dalam kegiatan produksi tersebut, maka lembaga ini akan menghasilkan output yang dikehendaki. Dalam kenyataan, mutu pendidikan yang diharapkan tidak teljadi, mengapa? Karena selama ini dalam menerapkan pendekatan education production function terlalu memusatkan pada input pendidikan dan kurang memperhatikan pada proses pendidikan. Padahal, proses pendidikan sangat menentukan output pendidikan.
Penyelenggaraan pendidikan dilakukan secara sentralistik, sehingga sekolah sebagai penyelenggara pendidikan sangat tergantung pada keputusan birokrasi, yang kadang-kadang kebijakan yang dikeluarkan tidak sesuai dengan kondisi sekolah setempat. Dengan demikian sekolah kehilangan kemandirian, motivasi, dan inisiatif untuk mengembangkan dan memajukan lembaganya termasuk peningkatan mutu pendidikan sebagai salah satu tujuan pendidikan nasional.
Peran serta masyarakat, khususnya orang tua siswa dalam penyelenggaraan pendidikan
selama ini sangat minim. Partisipasi masyarakat pada umumnya selama ini lebih banyak bersifat dukungan dana, bukan pada proses pendidikan (pengambilan keputusan, monitoring, evaluasi, dan akuntabilitas). Berkaitan dengan akuntabilitas, sekolah tidak mempunyal beban untuk mempertanggungjawabkan hasil pelaksanaan pendidikan kepada masyarakat, khususnya orang tua siswa, sebagai salah satu pihak utama yang berkepentingan dengan pendidikan. Dilihat dari aspek lain masih banyaknya peserta didik gagal sekolah, lamanya penyelesaian studi mahasiswa lulusan perguruan tinggi, juga lamanya memperoleh pekerjaan, bahkan banyak yang menjadi pengangguran dan rendahnya gaji para lulusan sekolah merupakan indikator lain betapa rendahya mutu pendidikan kita ( Umaedi, 2001:1-2).
Pada tahun 1984 kita telah berhasil melaksanakan wajib belajar 6 tahun, yang telah diusulkan untuk dilaksanakan dengan jelas ketika RI baru berusia 4 bulan yaitu pada tanggal 29 Desember 1945. BPKNIP (Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat) atau badan legislatif pada waktu itu mengusulkan kepada kementrian pendidikan pengajaran dan kebudayaan agar melaksanakan wajib belajar 6 tahun secara berangsur dalam waktu 10 tahun.
Banyak yang telah dihasilkan dengan wajib belajar 6 tahun, diantaranya telah berhasil mengenalkan pada masyarakat betapa pentingnya pendidikan dasar dan mengurangi jumlah buta baca latin pada masyarakat bawah yang pada zaman kolonial tidak tersentuh. Berbagai macam inovasi pendidikan dikembangkan seperti, CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif) untuk mcningkatkan metode belajar dan mengajar yang lebih kreatif tidak sekedar mendengarkan yang akan mematikan kreatifitas siswa dan GNOTA (Gerakan Nasional Orang Tua Asuh) yang dikenalkan pada masyarakal untuk dilaksanakan dengan tujuan memberikan beasiswa yang tepat sasaran. Proyek inovasi tersebut memang belum mencapai hasil yang diinginkan tetapi setidaknya ada usaha untuk melakukan perbaikan mutu pendidikan (Rachman, 2004:155).
Seiring dengan bergulirnya era otonomi daerah dan diberlakukannya UU No 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah, pada pasal 1 ayat 2 dinyatakan bahwa; "Bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh pemerintah daerah kabupaten dan daerah kota meliputi pekerjaan umum. kesehatan, pendidikan dan kebudayaan." UU ini memberikan keleluasaan bagi pemerintah daerah untuk mampu mengembangkan potensi yang acla termasuk juga pendidikan. Asas desentralisasi yang dianut oleh UU pemerinlah daerah mencakup pengertian antara lain pengakuan kewenangan pemerintah yang luas kepada daerah otonom oleh pemerintah pusat. Konsekuensi pelaksanaan otonomi yang seluas-luasnya itu akan membawa pengaruh termasuk dalam pendidikan yang kemudian dikenal dengan otonomi pendidikan.
Otonomi pendidikan dengan asas desentralisasi akan melahirkan warga negara yang inovatif, bisa bersaing dan dapat bekerjasama membangun suatu masyarakat yang demokratis. Diberlakukannya otonomi pendidikan memberikan angin segar bagi daerah khususnya sekolah untuk dapat mengembangkan potensinya. Sekolah dapat dengan leluasa membuat rencana-rencana yang sesual dengan kondisinya. Contohnya sekolah menambah Jam belajar efektif dengan menerapkan kurikulum dan metode belajar yang tepat. Dengan rencana yang matang dan pelaksana yang profesional serta koordinasi kerja yang baik tentunya akan mendapat hasil yang maksimal karena akan membawa sekolah pada tujuan utama yaitu meningkatkan mutu dan memenuhi harapan masyarakat.
1. Pengertian
Berbicara tentang otonomi tidak dapat dilepaskan dari kebijakan pemerintah tentang otonomi daerah. Sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah Bab I pasal 1 point h, otonomi Daerah adalah kewenangan Daerah Otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Otonomi daerah dapat diartikan sebagai kemandirian suatu daerah dalam kaitan pembuatan dan pengambilan keputusan mengenai kepentingan daerahnya sendiri (Dede, 2003:150). Disinyalir yang memahami tentang suatu daerah tertentu pastilah masyarakat tempatan, hingga wilayah tertentu tidak mungkin bias diketahui secara pasti oleh pemerintah pusat, akan tetapi cukup diketahui oleh pemerintah daerah.
Otonomi daerah di Indonesia direalisasikan dengan membagi kekuasaan yang sebelumnya terpusat pada pemerintah pusat dengan mendelegasikan sebagian dari tugas dan kewenangan tersebut pada pemerintah daerah. Menurut undang-undang nomor 22 tahun 1999 yang menjadi kewenangn pemerintah pusat hanyalah aspek-aspek makro yang bersifat nasional seperti masalah hubungan luar negeri, pertahanan dan keamanan, peradilan, moneter, agama dan berbagai urusan yang memang lebih efisien bila ditangani secara sentral kebijakan makro ekonomi, standarisasi nasional, administrasi pemerintahan, badan usaha milik Negara dan pengembangan sumber daya manusia (Dede, 2003:168).
Dalam menetapkan kewenangan pusat dan daerah, terdapat 11 jenis kewenangan yang diberikan kepada daerah dalam pelaksanaannya sesuai dengan apa yang termaktub di dalam Undang-Undang Republik Indonesia nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah Bab IV pasal 11, yaitu :
- Pertanahan
- Pertanian
- Pendidikan dan Kebudayaan
- Tenaga Kerja
- Kesehatan
- Lingkungan Hidup
- Pekerjaan Umum
- Perhubungan
- Perdagangan dan Industri
- Penanaman Modal dan
- Koperasi (Dede, 2003:177).
Dari 11 kewenangan di atas dapat dilihat adanya kewenangan daerah dalam bidang pendidikan dan kebudayaan. Dalam arti kata aspek pendidikan dan kebudayaan tidak lagi menjadi kewenangan pemerintah pusat akan tetapi daerah diberi hak untuk mengatur sendiri pendidikan dan budaya yang sesuai dengan jati diri anak daerah, sehingga hasil pendidikan yang telah diraih anak negeri dapat diaplikasikan sesuai dengan potensi daerah yang dimiliki. Dalam hal ini pemerintah daerah memiliki wewenang dalam merumuskan, melaksanakan serta melakukan supervise dan mengevaluasi pendidikan yang dilaksanakan di daerah sesuai dengan kewenangan yang telah diberikan kepada daerah.
Otonomi daerah pada dasarnya sejalan dengan semangat demokrasi, sehingga otonomi daerah hendaknya dipandang sebagai otonomi bagi daerah, bukan otonomi bagi pemerintah daerah, sehingga dalam penentuan kebijakan dan dalam pelaksanaan suatu kebijakan atau program hendaknya melibatkan masyarakat.
Dengan demikian otonomi pendidikan hendaknya terlaksana seiring berjalannya otonomi daerah yang dicanangkan pemerintah. Berdasarkan pengertian otonomi daerah di atas dapat ditarik definisi otonomi pendidikan sebagai kemandirian suatu daerah dalam melaksanakan dan pengambilan keputusan mengenai kepentingan pendidikan di daerahnya sendiri. Sufyarma mengartikan desentralisasi pendidikan sebagai sistem manajemen untuk mewajibkan pembangunan pendidikan yang menekankan pada kebhinekaan (Sufyarma, 2004:83).
Pernyataan di atas berarti otonomi pendidikan lebih memperhatikan keberadaan anak didik yang tinggal dan hidup di tengah-tengah keragaman karakter, etnis, budaya dan agama. Oleh karena itu otonomi pendidikan hendaknya melibatkan semua unsur yang ada di daerah dalam rangka memajukan pendidikan dalam upaya mencerdaskan bangsa dan meningkatkan sumber daya manusia (SDM).
2. Plus-Minus Kebijakan Otonomi Pendidikan
Sentralisasi pendidikan yang berlangsung selama ini seakan telah memupus potensi masyarakat daerah dalam mengembangkan pendidikan dan potensi lain yang dimiliki, sementara kebijakan dan otoritas pemerintah pusat kurang dirasakan manfaatnya oleh daerah. Konsekuensinya pembangunan terpusat di Ibu kota Negara, sementara daerah mengalami kemunduran dan keterlambatan dalam pembangunan. Sentralisasi cenderung mengabaikan nilai-nilai dan norma-norma serta budaya lokal yang merupakan kekayaan dan khazanah nusantara, sehingga sistem ini cenderung mematikan kreativitas daerah dalam melakukan yang terbaik untuk daerahnya.
Kebijakan otonomi pendidikan yang dicanangkan pemerintah seiring kebijakan otonomi daerah pada dasarnya merupakan angin segar bagi daerah untuk dapat menentukan nasibnya sendiri, sehingga dapat menjadikan SDM (sumber daya manusia)nya menjadi sumber daya yang berkualitas yang bisa mengisi peluang-peluang yang ada di daerah. Di samping itu masyarakat daerah dapat merasa memiliki terhadap hasil pembangunan di bidang pendidikan karena mereka terlibat dalam pelaksanaannya.
Namun demikian otonomi daerah memungkinkan terjadi arogansi daerah, di mana daerah yang yang memiliki potensi alam yang kuat dan ditambah potensi sumber daya alam yang memadai akan dapat berkembang pesat, sementara daerah miskin yang kurang memiliki sumber daya alam, ditambah pula dengan minimnya sumber daya manusia yang berkualitas akan menjadi wilayah tertinggal. Di samping itu bagi daerah yang memiliki sumber daya alam yang cukup namun kurang memiliki sumber daya manusia yang ahli dalam bidang pendidikan mungkin merasa cukup dengan apa yang telah mereka hasilkan di bidang pendidikan, pada hal yang terjadi justru kemunduran, bila dibandingkan dengan daerah-daerah lain. Perbedaan kualitas lulusan akan menjadi realita yang muncul jika jika otonomi pendidikan terlaksana tanpa kontrol.
Sesuai denan hal ini Sudarwan Danim mengkhawatirkan ketidaksiapan SDM (sumber daya manusia) di dalam melaksanakan otonomi daerah, ditambah munculnya diskursus “memputradaerahkan” peluang-peluang tertentu, seperti jabatan-jabatan fenomenal seperti gubernur, wali kota, bupati, eselon-eselon I dan II yang ada, anggota dewan bahkan mahasiswa yang disebutnya hiperotonomi yang dapat berujung pada prilaku separatisme bias mengancam keutuhan Negara dan bangsa Indonesia ( Sudarwan, 2006:249).
Menyadari munculnya kemungkinan-kemungkinan di atas pemerintah membatasi kewenangan daerah pada aspek-aspek mikro saja, sementara aspek-aspek makro dalam bidang pendidikan masih tetap menjad kewenangan pusat, sehingga standarisasi kelulusan masih menjadi tanggungjawab pemerintah pusat, akan tetapi kewenangan secara luas telah pula diberikan kepada daerah.
Otonomi pendidikan bukan berarti menciutkan substansi pendidikan menjadi substansi lokal dan sempit, serta berorientasi pendidikan yang bersifat primordial yang dapat menimbulkan sentiment kedaerahan. Desentralisasi diartikan sebagai pelimpahan kekuasaan dan wewenang yang lebih luas kepada daerah untuk membuat perencanaan dan mengambil keputusannya sendiri dalam mengatasi permasalahan yang dihadapi di bidang pendidikan, namun harus tetap mengacu pada pendidikan nasional sebagai bagian dari upaya pencapaian tujuan pembangunan nasional (Tim, 1999: 19).
B. Manajemen Berbasis Sekolah
Manajemen pendidikan adalah gabungan dari dua kata yang memunyai satu makna, yaitu manajemen dan pendidikan. Secara sederhana, manajemen pendidikan dapat diartikan sebagai manajemen yang dipraktikan dalam dunia pendidikan dengan spesifikasi dan ciri khas yang ada dalam pendidikan. Manajemen pendidikan pada dasarnya adalah sebuah alat yang diperlukan dalam usaha mencapai tujuan pendidikan. Unsur manajemen dalam pendidikan merupakan penerapan prinsip-prinsip manajemen dalam bisang pendidikan. Manajemen pendidikan merupakan rangkaian proses yang terdiri dari perencanaan, pengorganisasian, penggerakan, dan pengawasan yang dikaitkan dengan dunia pendidikan (Kurniadin, 2012).
Husaini Usman mendefiniskan manajemen pendidikan sebagai seni dan ilmu mengelola sumber daya pendidikan untuk mewujudkan proses dan hasil belajar peserta didik secara aktif, kreatif, inovatif, dan menyenangkan dalam mengembangkan potensi dirinya. Manajemen adalah seni dan ilmu mengelola sumber daya pendidikan mencapai tujuan pendidikan secara aktif dan efesien. Manajemen pendidikan adalah proses perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengendalian sumber daya pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan. (Usman, 2013 :14)
Pada intinya MBS merupakan salah satu wujud dari reformasi pendidikan yang menawarkan kepada sekolah untuk menyediakan pendidikan yang lebih baik dan memadai bagi para peserta didik. Otonomi dalam manajemen merupakan potensi bagi sekolah untuk meningkatkan kinerja para staf dan menawarkan pastisipasi langsung kepada masyarakat terhadap pendidikan. Kewenangan yang bertumpu pada sekolah merupakan inti dari MBS yang dipandang memiliki tingkat efektivitas tinggi serta memberikan beberapa keuntungan berikut:
Kebijakan dan kewenangan sekolah membawa pengaruh langsung kepada peserta didik, orang tua, dan guru.
Bertujuan bagaimana memanfaatkan sumber daya local.
Efektif dalam melakukan pembinaan peserta didik seperti kehadiran, hasil belajar, tingkat pengulangan, tingkat putus sekolah, moral guru, dan iklim sekolah.
Adanya perhatian bersama untuk mengambil keputusan, memberdayakan guru, manajemen sekolah, rancang ulang sekolah, dan perubahan perencanaan (Mulyasa, 2014:25).
Melihat keuntungan dari MBS di atas maka sekolah dan daerah dituntut untuk mampu memberdayakan diri untuk meningkatkan mutu pendidikan. Dalam hal ini sekolah memiliki full authority and responsibility dalam menetapkan program-program pendidikan dan berbagai kebijakan sesuai dengan tujuan pendidikan. Perlu dipahami bahwa semua kebijakan dan program sekolah ditetapkan oleh komite sekolah dan dewan pendidikan yang dibentuk berdasarkan musyawarah dari pejabat daerah, kepala sekolah, tenaga kependidikan, perwakilan orang tua peserta didik, dan tokoh masyarakat.
1. Prinsip Manajemen Barbasis Sekolah
Terdapat empat prinsip manajemen berbasis sekolah sebagai bentuk implementasi otonomi daerah bidang pendidikan yang menjadi landasan Ahmad Zaini Aziz dalam menerjemahkan konsep manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah sesuai dengan tujuannya, yaitu otonomi, fleksibilitas, partisipasi, dan inisiatif.
- Prinsip otonomi
- Prinsip fleksibelitas
- Prinsip partispasi
- Prinsip inisiatif
2. Tujuan dan Manfaat Manajemen Berbasis Sekolah
Penerapan pengelolaan pendidikan dengan model MBS bertujuan untuk meningkatkan efesiensi, mutu, dan pemerataan pendidikan. Peningkatan efesiensi terutama diperoleh dari keleluasaan yang diberikan untuk mengelola sumber daya partisipasi masyarakat dan penyederhanaan birokrasi. Peningkatan mutu dapat diperoleh antara lain melalui partisipasi orang tua terhadap sekolah, fleksibelitas pengelolaan sekolah dan kelas, peningkatan profesionalisme guru dan kepala sekolah, serta pemberlakukan sistem insentif dan disentif. Peningkatan pemerataan dapat diperoleh melalui peningkatan partisipasi masyarakat yang memungkinkan pemerintah untuk lebih berkosentrasi pada kelompok tertentu. Hal ini dimungkinan karena pada sebagian masyarakat tumbuh rasa kepemilikan yang tinggi terhadap sekolah (Hidayat, 2012: 57 ).
3. Karakteristik Manajemen Berbasis Sekolah
Adaya tim yang kompak dalam menjalankan program sekolah sangat menentukan tingkat keberhasilan sekolah dalam mencapai tujuan pendidikan. Semua pihak yang terlibat dalam pelaksanaan pengelolaan pendidikan berjalan harmonis dan saling membutuhkan. Dengan demikian keberhasilan MBS merupakan hasil sinergi (sinergistic effect) dari kolaborasi tim yang kompak dan transparan (Mulyasa, 2014:36-38).
Menurut Levavic dalam Bafadal (2006), terdapat tiga karakteristik kunci MBS, yaitu sebagai berikut:
- Kekuasaan dan tanggung jawab dalam pengambilan keputusan yang berhubungan peningkatan mutu pendidikan didesentralisasikan kepada para staf sekolah.
- Domain manajemen peningkatan mutu pendidikan yang mencakup keseluruhan peningkatan mutu pendidikan, mencakup keuangan, kepegawaian, sarana dan prasarana, penerimaan siswa baru, dan
- kurikulum.
Walaupun keseluruhan domain manajemen peningkatan mutu pendidikan
didesentralisasikan ke sekolah-sekolah, namun diperlukan adanya sejumlah
regulasi yang mengatur fungsi control pusat terhadap keseluruhan pelaksanaan kewenangan dan tanggungjawab sekolah (Bafadal, 2006: 82).
Faktor-Faktor Penting dalam Manajemen Berbasis Sekolah
Terdapat beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam peningkatan manajemen mutu berbasis sekolah. Faktor-faktor tersebut berkaitan dengan kewajiban sekolah, kebijakan dan prioritas pemerintah, peranan orang tua dan masyarakat, peranan profesionalisme dan manajerial, serta pengembangan profesi.
a. Kewajiban sekolah
Manajemen berbasis sekolah yang menawarkan keleluasaan pengelolaan sekolah memiliki potensi yang besar dalam menciptakan kepala sekolah, guru, dan pengelola sistem pendidikan profesional. Oleh karena itu, pelaksanaannya perlu disertai seperangkat kewajiban, serta monitoring dan tuntutan pertanggungjawaban yang relatif tinggi untuk menjamin bahwa sekolah selain memiliki otonomi juga memunyai kewajiban melaksanakan kebijakan pemerintah dan memenuhi harapan masyarakat sekolah.
b. Kebijakan dan prioritas pemerintah
Pemerintah sebagai penanggung jawab pendidikan nasional berhak merumuskan kebijakan-kebijakan yang menjadi prioritas nasional terutama yang berkaitan dengan program peningkatan melek huruf dan angka, efesiensi, mutu, dan pemerataan pendidikan. Dalam hal-hal tersebut sekolah tidak diperbolehkan berjalan sendiri dengan mengabaikan kebijakan dan standar yang ditetapkan oleh pemerintah yang dipilih secara demokratis. Agar prioritas-prioritas pemerintah dilaksanakan oleh sekolah dan semua aktivitas sekolah ditujukan untuk memberikan pelayanan kepada peserta didik sehingga dapat belajar dengan baik, pemerintah perlu merumuskan seperangkat pedoman umum tentang pelaksanaan MBS. Pedoman-pedoman tersebut terutama ditujukan untuk menjamin bahwa hasil pendidikan (student outcomes) terevaluasi dengan baik, kebijakan-kebijakan pemerintah dilaksanakan secara efektif, sekolah dioperasikan dalam kerangka yang disetujui oleh pemerintah, dan anggaran dibelanjakan sesuai dengan tujuan.
c. Peranan orang tua dan masyarakat
MBS menunut dukungan tenaga kerja yang terampil dan berkualitas untuk membangkitkan motivasi kerja yang lebih produktif dan memberdayakan otoritas daerah setempat, serta mengefesiensikan sistem dan menghilangkan birokrasi yang tumpang tindih. Untuk kepentingan tersebut, diperlukan partisipasi masyarakat. Partisipasi masyarakat merupakan bagian penting dalam manajemen berbasis sekolah, khususnya dalam pembuatan keputusan. Dengan demikian, masyarakat dapat lebih memahami, dan dapat mengawasi serta membantu sekolah dalam pengelolaan dan kegiatan belajar mengajar. Besaranya partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sekolah memungkinkan dapat menimbulkan rancunya kepentingan antar sekolah, orang tua, dan masyarakat. Oleh karenanya, dalam hal ini pemerintah perlu merumuskan bentuk partisipasi (pembagian tugas) setiap unsur secara jelas dan tegas.
d. Peranan profesional dan manajerial
Manajemen berbasis sekolah menuntut perubahan-perubahan tingkah laku kepala sekolah, guru, dan tenaga administrasi dalam mengoperasikan sekolah. Pelaksanaan MBS berpotensi meningkatkan gesekan peranan yang bersifat profesional dan manajerial. Untuk memenuhi persyaratan pelaksanaan MBS, kepala sekolah guru dan tenaga administrasi harus memiliki kedua sifattersebut yaitu, profesional dan manajerial. Pengembangan profesi Dalam MBS pemerintah harus menjamin bahwa semua unsur penting tenaga kependidikan (sumber daya manusia) menerima pengembangan profesi yang diperlukan untuk mengelola sekolah secara efektif. Oleh karena itu perlu adanya pusat pengembangan profesi yang berfungsi sebagai penyedia jasa pelatihan bagi tenaga kependidikan (Mulyasa, 2014: 27-29).
C. Pendidikan Berbasis Masyarakat
Pendidikan berbasis masyarakat (Community Based Education) merupakan pengembangan dari Manajemen berbasis sekolah ( School Based Management) yang memberikan otonomi kepada sekolah, dalam hal ini kepala sekolah yang mengelola pendidikan dan menyelenggarakan proses belajar mengajar di sekolah. Masyarakat (Community) dalam pengetian ini dapat dibedakan menjadi 2 yaitu masyarakat biasa (general public) dan masyarakat khusus (special public). Masyarakat biasa yang secara struktural maupun fungsional memiliki keterlibatan khusus dengan sekolah. Sedangkan masyarakat khusus adalah masyarakat yang sudah menjalin kerja sama dengan pihak madrasah, seperti orang tua (wali murid), komite sekolah, kelompok-kelompok donatur dan organisasai/instansi yang memiliki ikatan kerja dengan madrasah (stakeholder). Keterlibatan masyarakat dilatar belakangi dasar
pemikiran bahwa kemajuan sebuah masyrakat ditentukan oleh kualifikasi dan potensi sumber daya manusia (Misyanto).
Pendidikan berbasis masyarakat dalam Undang-Undang Republik Indonesia tahun 2003 Bab 1 pasal 1 ayat 16 tentang Sistem Pendidikan Nasional dirumuskan sebagai penyelenggaraan pendidikan berdasarkan kekhasan agama, sosial, budaya, aspirasi, dan potensi masyarakat sebagai perwujudan pendidikan dari, oleh, dan untuk masyarakat.
Bagi masyarakat Indonesia yang heterogen, yang bersifat multi religius, multi kultur, multi aspirasi dan potensi, konsep pendidikan berbasis masyarakat ini sangat tepat diterapkan, karena konsep pendidikan berbasis masyarakat ini memberi penekanan pada perbedaan tersebut dengan menjadikan perbedaan yang ada sebagai kekayaan yang harus diakomodir, bukan dieliminir.
Dalam konsep pendidikan berbasis masyarakat, masyarakat sebagai elemen sosial diberdayakan melalui peran serta mereka dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan. Masyarakat berhak berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan. Masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan amanat yang diberikan dalam Undang-Undang Republik Indonesia tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Dapat dikatakan bahwa pendidikan berbasis masyarakat merupakan upaya untuk memberdayakan secara menyeluruh elemen sumber daya manusia (SDM) yang disinyalir mampu melahirkan SDM (sumber daya manusia) yang mempuni dan dapat memanfaatkan sumber daya dan potensi diri dan alam yang dimiliki.
Dengan konsep pendidikan berbasis masyarakat ini diharapkan konsentrasi pendidikan tidak terpusat di daerah-daerah perkotaan semata, karena seluruh masyarakat baik di desa maupun di kota diharapkan memiliki sumbangan terhadap pendidikan dan pemberdayaan masyarakat itu sendiri.
Keseriusan pemerintah Indonesia dalam merealisasikan pendidikan dari masyarakat, oleh dan untuk masyarakat (pendidikan berbasis masyarakat) ini. Hal ini terlihat dari butir-butir Undang-Undang Republik Indonesia tahun 2003 Bab XVbagian
2 pasal 55 ayat 4 tentang Sistem Pendidikan Nasional dinyatakan bahwa lembaga pendidikan berbasis masyarakat dapat memperoleh bantuan teknis, subsidi dana, dan sumber daya lain secara adil dan merata dari Pemerintah dan/atau pemerintah daerah.
D. Kesimpulan
Otonomi pendidikan dengan asas desentralisasi akan melahirkan warga negara yang inovatif, bisa bersaing dan dapat bekerjasama membangun suatu masyarakat yang demokratis.
Manajemen pendidikan pada dasarnya adalah sebuah alat yang diperlukan dalam usaha mencapai tujuan pendidikan. Unsur manajemen dalam pendidikan merupakan penerapan prinsip-prinsip manajemen dalam bisang pendidikan.
Pendidikan berbasis masyarakat (Community Based Education) merupakan pengembangan dari Manajemen berbasis sekolah ( School Based Management) yang memberikan otonomi kepada sekolah, dalam hal ini kepala sekolah yang mengelola pendidikan dan menyelenggarakan proses belajar mengajar di sekolah.
E. Sumber;
Abdul Rachman Saleh. (2004) Madrasah dan Pendidikan Anak Bangsa, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Dede Rosada. (2003). Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani. Jakarta: ICCE Syarif Hidayatullah
Umaedi. (2001). Menejemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, Jakarta: Dikdasmen
Dede Rosada. (2003). Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani. Jakarta: ICCE Syarif Hidayatullah
Hidayat, Ara dan Machali, Imam. (2012). Pengelolaan Pendidikan: Konsep, Prinsip, dan Aplikasi dalam Mengelola Sekolah dan Madrasah. Yogyakarta: Kaukaba, 2012
Misyanto, “Pendidikan Berbasis Masyarakat ( Community Based Education) Menuju Madrasah Unggul”, dalam : http://media.diknas.go.id/media/document/5679.pdf
Mulyasa. (2014). Manajemen Berbasis Sekolah: Konsep, Strategi, dan Implimentasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
Sudarwan, Danim. (2006). Agenda Pembaruan Sistem Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Sufyarma. (2004). Kapita Selekta Manajemen Pendidikan. Bandung, Alfa Beta
Tim Teknis Bappenas Bekerjasama dengan Bank Dunia. (1999). Menuju Desentralisasi Pengelolaan Pendidikan Dasar. Jakarta: Bappenas Bekerjasama dengan Bank Dunia
Usman, Husaini. (2013). Manajemen: Teori Praktik dan Riset Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara